Kamis, 11 Desember 2014

Perempuan Perempuan Yang Terkikis Nuraninya

Kerasnya hidup dan ketatnya persaingan konon katanya membuat orang lebih terpacu untuk survive. Ya, barangkali benar. Tapi nampaknya, ada yang terkikis nuraninya saat kerasnya hidup dan ketatnya persaingan tidak disertai dengan apresiasi ataupun perolehan reward yang sepadan. Secara jasmani mampu survive, tetapi secara ruhaniah nuraninya terkikis perlahan-lahan.
Fenomena ini saya temui pada perempuan pekerja yang sehari-hari terbiasa dengan “pertempuran luar biasa” di Commuter Line Jabodetabek. Pergi dan pulang kerja dengan menggunakan jasa angkutan Kereta Rel Listrik (KRL) yang dikelola PT Kereta Api Commuter Jabodetabek (CAJ), bukan saja butuh stamina fisik yang tinggi, tapi juga mental yang baja. Pada jam sibuk pergi dan pulang kerja, hampir tidak ada gerbong yang tidak sesak. Saya katakan bukan sekedar penuh ya, melainkan sesak. Betul-betul sesak sampai proses penutupan pintu gerbong secara otomatis harus seringkali terhambat. Ada saja yang menyembul dan mengganjal, entah itu tangan penumpang, atau tas yang menyembul keluar akibat begitu sesaknya isi gerbong.
Jadi, perempuan-perempuan yang berjejalan di dalam gerbong itu, setiap hari harus mempersiapkan fisiknya untuk tergencet, terhimpit, terdesak, dan terdorong. Jangankan untuk bergerak atau menggeser posisi, bernafaspun harus tersodok-sodok kepala orang yang ada di depan dan samping. Saking padatnya. Di gerbong satu dan delapan atau sepuluh, para perempuan itu mungkin masih bisa menahan risih karena berdesakan hanya dengan sesama perempuan. Sebab gerbong paling depan (satu) dan paling belakang (8 atau 10) adalah gerbong khusus perempuan.Bagaimana dengan gerbong dua sampai sembilan?….. Mohon maaf, saya tidak berani mengulangi untuk naik di gerbong campur, karena rasanya amat sangat risih. Berdiri berdesakan tanpa jarak antara laki-laki dan perempuan, itu sangat jauh dari nyaman. Diberi tempat duduk?… Bermimpilah. Dengan membawa perut besar karena sedang mengandungpun, Anda harus siap dengan kekejaman di arena ini karena jika kursi prioritas telah penuh terisi, mungkin hanya satu dari sekian puluh penumpang yang ridho memberikan kursinya pada Anda.

Saya mengalami dua kali mengandung selama menggunakan jasa commuter line, dan sudah terbiasa dengan kekejaman ini. Karena saya merasakan betapa beratnya menanggung resiko itu, saya bersumpah tidak akan pernah membiarkan orang hamil berdiri di kereta. Resiko kontraksi akibat terlalu lelah dan tegang, resiko terjatuh karena terdorong, dan resiko pendarahan. Saya rasa semua perempuan sadar bahwa dalam kondisi ini, mereka bertaruh nyawa. Nyawanya, dan nyawa bayinya.

Baiklah, itu tadi gambaran kasar saja. Bahwa fisik prima itu penting bagi para perempuan “anker” (anak kereta). Tapi secara mendetil, saya katakan bukan semata fisik saja. Mental lebih-lebih. Menurut Anda, masih mampukan Anda bersikap halus dan sopan ketika ada orang yang dalam kondisi ini tidak suka tubuhnya terdesak lalu dengan judes memaki Anda? Hei, naik taksi saja kalau tidak mau berdesakan ya…. mungkin kalimat itulah yang akan keluar dari mulut Anda.Atau ketika ada yang dengan semena-mena mempertahankan posisi nyamannya sehingga mempersempit ruang gerak orang lain disekitarnya? Atau yang dengan kasar menumpukkan barang-barangnya di atas tas laptop Anda?… Masih bisa sabar?…. Bagus sekali jika YA. Lalu, ketika ada yang tidak mau bergeser sementara Anda sedang berjuang mencari celah untuk bisa sampai di pintu kereta ketika stasiun tujuan Anda sudah dekat, masih bisa sabar dan tanang? Resikonya Anda tidak sempat turun dan pintu kereta sudah tertutup. Ketika ada yang minta diambilkan tas atau barangnya dari atas bagasi tanpa mengucapkan “Maaf”, “Tolong” dan “Terima Kasih”, sementara saat membantunya Anda hampir jatuh dan terinjak oleh yang lain, kira-kira bagaimana rasanya?….
Ya, rasanya memang perempuan-perempuan di gerbong KRL ini sudah terkikis nuraninya. Setiap hari dalam kondisi jauh dari nyaman, membuat mereka tak lagi humanis. Rasa kemanusiaan luntur. Saya rasa begitu ya, walau mungkin tidak seluruhnya demikian. Turun dari kereta, saya sering merasa seperti memar-memar habis digebukin. Karena kadang posisi berdiri tidak sempurna, sebelah kaki tertekan tiang, atau miring. Kondisinya memang tidak manusiawi. Dampaknya, perempuan-perempuan di dalamnya juga kehilangan humanisme. Terkikis nuraninya. Tidak lagi peka untuk mengucapkan kata-kata yang sopan, dan barangkali kehilangan kelembutannya.
Jangan sangka bahwa hanya perempuan yang berdiri saja yang tidak nyaman.Mereka yang duduk, sebenarnya juga kebagian tidak nyaman. Dalam kondisi sesak, baris pertama penumpang yang berdiri di hadapan para penumpang yang duduk akan otomatis merangsek ke arah mereka yang duduk. Dengkul dan kaki mereka akan menjadi korbannya. Belum lagi perjuangan dari duduk-berdiri-menerobos kerumunan sesak sampai ke pintu kereta saat akan turun. Anda perlu persiapan sejak setidaknya tiga stasiun sebelum stasiun tujuan.
Baiklah, seperti saya katakan di awal tadi, ini adalah gambaran kerasnya hidup.Perempuan-perempuan yang memilih bekerja di luar rumah dan tidak sedikit dari mereka yang karena kondisi harus menjadi tulang punggung keluarga. Saya sering bertanya, masih sanggupkan mereka ketika sampai di rumah untuk memeluk dengan kelembutan anak-anaknya, menyapa dengan kata-kata lembut penuh kasih sayang anak-anaknya, dan tersenyum manis kepada anak-anaknya?…. Setelah bekerja dari pagi hingga sore, ditambah bonus perjuangan pergi pulang kerja dalam moda transportasi kereta api yang seperti ini?… Masih bisa?…
Para perempuan ini, memang bisa survive dalam kerasnya hidup. Survive secara jasmani, YA. Tapi ruhaniah?… Mungkin mereka kalah….. Ya, karena nurani perlahan terkikis…. Tidak lagi terlalu peka dengan toleransi sesama, menghargai orang lain, dan menolong dengan tulus. Merasa tidak perlu memberikan tempat duduk pada orang hamil karena kursi yang diduduki bukan kursi prioritas, dan merasa sudah harus berjuang untuk bisa duduk. Merasa tidak perlu minta maaf ketika tanpa sengaja menyikut atau menginjak orang, karena menganggap semua orang harus siap untuk disikut dan diinjak saat berada di kereta. Merasa tidak perlu mengucapkan terima kasih saat ditolong orang karena merasa tidak ditolong. Kemanusiaan sudah diabaikan.

Perempuan-perempuan yang terkikis nuraninya, dan mungkin salah satunya adalah saya, bagaimana mengembalikan humanisme itu ke dalam hati?…. Saya cuma punya satu jalan untuk saat ini, karena tidak mungkin mengharapkan kondisi perkeretaapian secara drastis berubah menjadi seperti di negara maju. Satu jalan yang mungkin bagi kita untuk mengembalikan nurani yang terkikis itu adalah sebuah tekad merubah mindset. Jika saat ini mindset kita adalah: Saya diperlakukan tidak manusiawi, karena itu wajar jika saya juga memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Ubah mindset itu dengan : Saya diperlakukan tidak manusiawi, dan saya merasakan betapa tidak enaknya diperlakukan begitu, maka saya tidak akan sekalipun memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi.
Apapun yang kita lakukan akan berbalik kepada diri kita sendiri. Itu pasti. Saya meyakini bahwa rasa sakit dan kecewa yang dibalaskan ke orang lain dengan rasa serupa akan kembali kepada kita dalam bentuk sakit dan kecewa juga. Sementara walaupun kita sakit dan kecewa, namun kita inversikan rasa kecewa dan sakit itu menjadi energi positif kebahagiaan dan kita tularkan kepada orang lain maka akan kembali sebagai kebahagiaan kepada diri kita. Kalaupun saya merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang terkikis nuraninya, saya bertekad untuk menjadi salah satu yang mampu mengembalikan nurani itu utuh dan bernilai. Semoga saya bisa. This is the next struggle.

**ditulis saat badan masih sakit sakit karena keseringan kegencet gencet di commuter line.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...