Selasa, 02 Desember 2014

Most Wanted: Ibu Pembelajar



Kini bukan eranya lagi untuk berdebat soal apakah perempuan yang sudah menikah dan berpredikat sebagai ibu sebaiknya memilih bekerja atau tinggal di rumah?..... Bukan zamannya lagi.  Problem dilematis semacam itu sudah waktunya di garis finish.  Ibu, baik yang bekerja sekian belas jam di luar rumah maupun yang tinggal di rumah, memiliki tanggung jawab yang sama untuk pengasuhan anak.  Asisten rumah tangga, baby sitter, ataupun ibu pengganti adalah salah satu item dalam  supporting system, bukan penanggung jawab.  Ibu, tetap yang pegang peranan.  Saat ini, yang lebih urgent adalah bagaimana agar para ibu sadar pentingnya menjadi manusia pembelajar sebagai modal untuk pengasuhan anak-anak di zaman yang terus berubah.  Ibu manapun, baik yang berkarier di kantor atau tinggal di rumah, jika tidak bersedia menjadi manusia pembelajar, akan aus dilindas zaman.  Anak-anak, akan menjadi korbannya.

Kenapa harus jadi ibu pembelajar? Karena pengasuhan anak adalah hal yang unik, dinamis, dan unpredictable. Unik, karena tiap anak adalah pribadi yang khas, sekalipun mereka kembar identik. Keunikan genetis yang diwariskan pun dapat sangat beragam, yang kadang tak pernah kita bayangkan. Dinamis, karena zaman terus berubah.  Zaman kita kecil, tidak akan pernah sama dengan zaman ketika anak-anak kita dibesarkan. Jika saat masa kecil kita sudah cukup senang dengan hadiah kelereng, dakon,  dan bola bekel lengkap dengan bijinya, hal yang sama tidak mungkin terjadi pada generasi masa kini.  Unpredictable, karena memang hidup ini selalu penuh dengan kejutan. Semua ibu harus siap dengan kejutan kejutan yang manis ataupun sebaliknya, getir menggigit. Jadi,dalam hal ini,  menjadi pembelajar menurut saya adalah sebuah keniscayaan.  Harus.  Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka.

Apa sih manusia pembelajar?..... Andrias Harefa  dalam bukunya “ Menjadi Manusia Pembelajar”  (Penerbit Buku Kompas, 2000; hlm.30-31) menuliskan bahwa manusia pembelajar adalah manusia yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting.  Pertama  berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti: Siapakah aku ini?; Dari mana aku datang?; Kemanakah aku akan pergi?; Apa yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?; dan Kepada siapa aku percaya? Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang “bukan dirinya”.

Untuk menjadi manusia pembelajar, setiap ibu dengan segenap potensinya akan berusaha untuk menjadi dirinya sendiri dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.  Dengan segenap kemampuannya, ibu pembelajar selalu berusaha menyerap informasi dan menyaringnya sesuai dengan kebutuhan dan kepercayaan dirinya.  Ibu pembelajar tahu betapa penting untuk tetap percaya diri dan menerapkan sistem yang dibangunnya sendiri bersama pasangan dalam mengawal anak-anak dalam dunia penuh dinamika. Untuk menjadi pembelajar, ibu butuh dukungan pasangan. 

Menjadi ibu, adalah anugerah indah sekaligus ujian kesabaran tanpa ujung.  Satu paket. Anugerah indah, karena saat menyadari adanya kehidupan baru di dalam rahim, perempuan manapun merasa sangat berharga karena dipercaya Yang Kuasa untuk sebuah amanah sepanjang hidup.  Kesabaran tanpa ujung, karena ketika bayi yang dikandung itu lahir ke dunia -bersama lengking tangisnya- berbaris tanpa jeda tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan terhadapnya.  Satu paket itu anugerah dan kesabaran.  Satu paket itu yang bakal mengawal ibu (bersama pasangan) mewarnai anak-anak dengan pembelajaran positif agar kelak mereka menjadi insan yang bermanfaat.

Bagaimana untuk menjadi ibu pembelajar?.... 

Bagi ibu yang full di rumah, jangan merasa puas dan bangga dengan hanya selalu dapat mendampingi anak sepanjang waktu.  Itu tidak cukup.  Buka mata, hati, dan pikiran dengan apa isi kegiatan anak. Terjun dan menyelam bersamanya.   Tidak paham?..... Belajar memahami.  Bagaimana caranya?.... Jadikan diri kita sahabat anak-anak.  Terjunkan jiwa kita ke dalam dimensi mereka.  Itu hanya dapat dilakukan jika kita membuka diri untuk menjadi pembelajar.  Tidak ada artinya secara fisik kehadiran ibu sepanjang waktu dengan anak, jika tidak disertai dengan pemahaman dan support  dalam bentuk “jiwa dan aura” kepada anak-anak. 

Bagi ibu yang bekerja di luar rumah, siapkan mental baja, dan fisik prima.  Perlu usaha lebih untuk menjadi dekat dan bersahabat dengan anak-anak. Tapi bukan berarti tidak bisa. Selalu bersyukur dan mewujudkan syukur itu dengan membuka diri untuk terus belajar adalah yang utama. Belajar memahami perasaan anak-anak, belajar memposisikan diri sebagai anak-anak, berempati terhadap psikologis anak, adalah HARUS.   Mungkin, ibu bekerja punya banyak kelebihan dengan akses informasi dan keluasan hubungan sosial.  Tapi titik lemah ada di keterbatasan waktu dan pertemuan fisik dengan anak.  Manfaatkan teknologi untuk pembelajaran.  Satu kelemahan dapat menjadi pemicu untuk upgrading, sementara satu kelebihan bisa dimanfaatkan sebagai supporting. 


Sekarang, tidak ada pilihan lain bagi ibu selain menjadi ibu pembelajar.  Cukupkan debat dan saling gugat tentang ibu bekerja dan ibu di rumah.  Tidak pantas saling menuding siapa yang lebih mulia.  Dua-duanya sama-sama tidak ada maknanya jika ibu berhenti menjadi manusia pembelajar. The most wanted is never ending learner moms. Setuju?...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...