Kini bukan eranya lagi
untuk berdebat soal apakah perempuan yang sudah menikah dan berpredikat sebagai
ibu sebaiknya memilih bekerja atau tinggal di rumah?..... Bukan zamannya
lagi. Problem dilematis semacam itu
sudah waktunya di garis finish. Ibu, baik yang bekerja sekian belas jam di
luar rumah maupun yang tinggal di rumah, memiliki tanggung jawab yang sama
untuk pengasuhan anak. Asisten rumah
tangga, baby sitter, ataupun ibu
pengganti adalah salah satu item
dalam supporting system, bukan penanggung jawab. Ibu, tetap yang pegang peranan. Saat ini, yang lebih urgent adalah bagaimana agar para ibu sadar pentingnya menjadi
manusia pembelajar sebagai modal untuk pengasuhan anak-anak di zaman yang terus
berubah. Ibu manapun, baik yang
berkarier di kantor atau tinggal di rumah, jika tidak bersedia menjadi manusia
pembelajar, akan aus dilindas zaman. Anak-anak,
akan menjadi korbannya.
Kenapa harus jadi ibu
pembelajar? Karena pengasuhan anak adalah hal yang unik, dinamis, dan unpredictable. Unik, karena tiap anak
adalah pribadi yang khas, sekalipun mereka kembar identik. Keunikan genetis
yang diwariskan pun dapat sangat beragam, yang kadang tak pernah kita
bayangkan. Dinamis, karena zaman terus berubah.
Zaman kita kecil, tidak akan pernah sama dengan zaman ketika anak-anak
kita dibesarkan. Jika saat masa kecil kita sudah cukup senang dengan hadiah
kelereng, dakon, dan bola bekel lengkap
dengan bijinya, hal yang sama tidak mungkin terjadi pada generasi masa kini. Unpredictable,
karena memang hidup ini selalu penuh dengan kejutan. Semua ibu harus siap
dengan kejutan kejutan yang manis ataupun sebaliknya, getir menggigit.
Jadi,dalam hal ini, menjadi pembelajar
menurut saya adalah sebuah keniscayaan.
Harus. Mau atau tidak mau, suka
atau tidak suka.
Apa sih manusia pembelajar?..... Andrias
Harefa dalam bukunya “ Menjadi Manusia
Pembelajar” (Penerbit Buku Kompas, 2000;
hlm.30-31) menuliskan bahwa manusia pembelajar adalah manusia yang bersedia menerima
tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting.
Pertama berusaha mengenali
hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha
mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial
seperti: Siapakah aku ini?; Dari mana aku datang?; Kemanakah aku akan pergi?;
Apa yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?; dan Kepada siapa aku
percaya? Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap
potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya,
dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan
dengan sesuatu yang “bukan dirinya”.
Untuk menjadi manusia
pembelajar, setiap ibu dengan segenap potensinya akan berusaha untuk menjadi
dirinya sendiri dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Dengan segenap kemampuannya, ibu pembelajar
selalu berusaha menyerap informasi dan menyaringnya sesuai dengan kebutuhan dan
kepercayaan dirinya. Ibu pembelajar tahu
betapa penting untuk tetap percaya diri dan menerapkan sistem yang dibangunnya
sendiri bersama pasangan dalam mengawal anak-anak dalam dunia penuh dinamika.
Untuk menjadi pembelajar, ibu butuh dukungan pasangan.
Menjadi ibu, adalah
anugerah indah sekaligus ujian kesabaran tanpa ujung. Satu paket. Anugerah indah, karena saat
menyadari adanya kehidupan baru di dalam rahim, perempuan manapun merasa sangat
berharga karena dipercaya Yang Kuasa untuk sebuah amanah sepanjang hidup. Kesabaran tanpa ujung, karena ketika bayi
yang dikandung itu lahir ke dunia -bersama lengking tangisnya- berbaris tanpa
jeda tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan terhadapnya. Satu paket itu anugerah dan kesabaran. Satu paket itu yang bakal mengawal ibu
(bersama pasangan) mewarnai anak-anak dengan pembelajaran positif agar kelak
mereka menjadi insan yang bermanfaat.
Bagaimana untuk
menjadi ibu pembelajar?....
Bagi ibu yang full di rumah, jangan merasa puas dan
bangga dengan hanya selalu dapat mendampingi anak sepanjang waktu. Itu tidak cukup. Buka mata, hati, dan pikiran dengan apa isi
kegiatan anak. Terjun dan menyelam bersamanya.
Tidak paham?..... Belajar
memahami. Bagaimana caranya?.... Jadikan
diri kita sahabat anak-anak. Terjunkan
jiwa kita ke dalam dimensi mereka. Itu
hanya dapat dilakukan jika kita membuka diri untuk menjadi pembelajar. Tidak ada artinya secara fisik kehadiran ibu sepanjang
waktu dengan anak, jika tidak disertai dengan pemahaman dan support dalam bentuk “jiwa dan aura” kepada
anak-anak.
Bagi ibu yang bekerja
di luar rumah, siapkan mental baja, dan fisik prima. Perlu usaha lebih untuk menjadi dekat dan
bersahabat dengan anak-anak. Tapi bukan berarti tidak bisa. Selalu bersyukur
dan mewujudkan syukur itu dengan membuka diri untuk terus belajar adalah yang
utama. Belajar memahami perasaan anak-anak, belajar memposisikan diri sebagai
anak-anak, berempati terhadap psikologis anak, adalah HARUS. Mungkin, ibu bekerja punya banyak kelebihan
dengan akses informasi dan keluasan hubungan sosial. Tapi titik lemah ada di keterbatasan waktu
dan pertemuan fisik dengan anak.
Manfaatkan teknologi untuk pembelajaran.
Satu kelemahan dapat menjadi pemicu untuk upgrading, sementara satu kelebihan bisa dimanfaatkan sebagai supporting.
Sekarang, tidak ada
pilihan lain bagi ibu selain menjadi ibu pembelajar. Cukupkan debat dan saling gugat tentang ibu
bekerja dan ibu di rumah. Tidak pantas
saling menuding siapa yang lebih mulia.
Dua-duanya sama-sama tidak ada maknanya jika ibu berhenti menjadi
manusia pembelajar. The most wanted is
never ending learner moms. Setuju?...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar