Selasa, 09 Desember 2014

Manajemen Risiko Ibu Bekerja: Sebuah Keniscayaan


Ibu yang memilih untuk tetap bekerja di luar rumah dan meninggalkan anak-anak lebih dari 12 jam setiap harinya dihadapkan pada risiko terbesar dalam hidup. Risiko itu adalah keterbatasan waktu dan energi serta pikiran untuk memantau tumbuh kembang anak pada masanya yang akan berdampak serius pada masa depan generasi.  Dan setiap ibu yang memilih untuk mengambil risiko itu harus yakin benar bahwa ia mampu memanage risiko itu sehingga mampu mencegah atau meminimalisir terjadinya akibat yang tidak diinginkan.  Manajemen risiko bagi ibu bekerja, niscaya adalah sebuah keniscayaan.
                                     
                                      -----------------------------

Sebagai muslimah, saya meyakini bahwa Islam tidak melarang kaum perempuan untuk beraktifitas di masyarakat, bekerja dalam rangka membantu perekonomian keluarga dengan izin suami, ataupun masuk ke dunia politik dan mengungkapkan gagasan-gagasanannya.  Saya percaya Islam tidak melarang kaum perempuan untuk memiliki harta benda, berusaha pada bidang perekonomian atau kegiatan apapun demi menunjang pengembangan diri, keluarga, dan masyarakat terutama masyarakat muslim dengan ukuran kemaslahatan umat.  Meski demikian, tugas utama seorang muslimah adalah menjadi ibu yang teladan bagi anak-anaknya dan menjadi istri solihah yang setia bagi suaminya.  Tidak ada satupun yang boleh menjadi penghalang bagi tugas perempuan yang utama ini.  To be a lovely mom and  wife is a every woman’s dream.

Pada kenyataannya, seorang muslimah yang telah menikah dan melahirkan anak-anak, serta atas dasar pertimbangan bersama pasangan akhirnya memilih untuk tetap bekerja diiringi izin dari suaminya, mau atau tidak mau harus berani mengambil risiko atas tumbuh kembang anak-anaknya.  Kenyataan itu pula yang saya hadapi.  Dan harus dihadapi.  Bukan dengan modal nekat.  Kita- para ibu bekerja- harus punya modal yang cukup untuk memanage risiko yang dihadapi, rechargeble energy, mental baja, dan asa yang tidak pernah putus! Kita- para ibu bekerja- bukanlah manusia-manusia super yang memiliki itu semua dengan lengkap di dalam jasad multiseluler ini.  Kita- para ibu bekerja, kebetulan hanyalah manusia biasa yang menjalani taqdir dan pilihan-pilihan hidup satu paket dengan rasa syukur dan ikhtiar serta doa.  Dan kita- para ibu bekerja- secara sadar berada dalam dinamika hidup yang tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan manusia, melainkan juga atas kehendak Yang Maha Kuasa.

Kita semua tahu, bahwa risiko adalah bahaya, akibat, atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang.  Risiko dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, yaitu apabila terjadi suatu keadaan yang tak dikehendaki dapat menimbulkan suatu kerugian.  Secara umum, tahapan manajemen risiko yang biasa dijalankan dimulai dengan identifikasi yang dilanjutkan dengan pengukuran risiko.  Jika telah teridentifikasi dan terukur risiko tersebut, kita lalu dapat memetakan dan memantaunya.  Lebih jauh, kita akan mampu melakukan pengendalian terhadap risiko tersebut, bahkan mengevaluasinya untuk langkah lebih lanjut.

Saya mulai menyadari bahwa manajemen risiko bagi ibu bekerja itu mutlak diperlukan, ketika bayi pertama kami lahir.  Semua ibu bekerja tahu betul bagaimana rasanya ketika hari pertama kembali bekerja setelah cuti melahirkan berakhir itu dijalani. Tidak akan pernah terlupakan rasanya sepanjang hidup.  Bagaimana rasanya meninggalkan bayi yang sembilan bulan lamanya berada di rahim kita, untuk berangkat ke kantor, dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Bagaimana rasanya bibir ini mampu tersenyum memandangi foto buah hati kita saat memerah ASI di kantor, bercampur dengan rasa kuatir yang susah payah berusaha dilindas dengan sejumput doa yang tak pernah putus.

Ketika anak-anak semakin besar, setiap jam istirahat kita mungkin tak bisa menyuap makan siang dengan nikmat sebelum menelepon anak-anak kita dan meyakinkan mereka sudah makan siang serta dalam keadaan baik-baik saja.  Mendengarkan celoteh anak-anak melalui percakapan di telepon selalu menjadi mood booster saat bekerja. Demikian juga ketika ibu pulang dan disambut dengan suara riang anak-anak, membuat sirna semua lelah dan penat ibu. 

Ibu bekerja secara alami akan mampu mengidentifikasi risiko yang dihadapi.  Mulai dari risiko kehilangan waktu kebersamaan fisik, kesempatan mencurahkan kasih sayang dalam bentuk kehadiran fisik, penolakan anak karena merasa tidak diperhatikan, anak merasa diabaikan, dan tantrum anak berlebihan.  Risiko lainnya seperti judgement publik kepada ibu bekerja bila anaknya bermasalah, perkembangan anak akibat berganti-ganti pengasuh, hingga perasaan bersalah yang berlebihan pada diri ibu, patut dipertimbangkan.


Itulah risiko yang dihadapi ibu bekerja.  Selama anak-anak secara fisik tidak bersama kita-ibunya- banyak hal bisa terjadi.  Baiklah mari kita coba mengukurnya.  Risiko terbesar mungkin sama-sama kita rasakan pada risiko yang secara langsung berdampak pada anak, yaitu yang berawal dari keterbatasan kebersamaan fisik. Benar, bahwa ibu yang bekerja di kantor bagaikan bermimpi di siang bolong jika ingin anak-anaknya selalu berada dalam pelukan dan belaiannya pada jam kerja.  Ketika kita sudah dapat mengukur risiko-risiko yang dihadapi, kita lalu akan berusaha untuk memetakan dan mengendalikannya.

Dengan pemetaan risiko, kita paham mana risiko terbesar yang memerlukan fokus pengendalian dan bagaimana cara mengendalikannya.  Cara pengendalian risiko dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengendalian yang sifatnya menghilangkan atau mengurangi risiko; dan pengendalian yang sifatnya menahan atau memindahkan risiko ke pihak lain. Ambillah contoh, keterbatasan kebersamaan secara fisik ibu dengan anak.  Ini bisa dikendalikan dengan mengurangi keterbatasan.  Bagaimana mengurangi keterbatasan?  Bolehlah kita coba dengan meningkatkan kualitas kebersamaan dalam kesempatan apapun yang ada, dan menambah kuantitas serta kualitas kedekatan emosional sebagai penunjang kebersamaan fisik. 

Kita paham bahwa kebersamaan fisik itu penting, karena dengan hadir secara fisik maka anak dapat merasakan sentuhan dan belaian ibu secara kasat indra.  Tetapi kebersamaan fisik menjadi hampa ketika ibu dan anak secara fisik bersama-sama tetapi tidak saling berkomunikasi, menyentuh, memeluk, dan kontak mata.  Ini bisa terjadi pada anak-anak yang ibunya sepanjang hari berada di rumah, tetapi sang ibu asyik dengan dunianya sendiri.  Mereka menyusui bayinya sambil memainkan handphone, atau membiarkan anak bermain sepanjang hari di rumah tetangga padahal dengan sedikit effort sebetulnya mampu menciptakan suasana bermain yang edukatif dan menghibur sesuai perkembangan usia anak. 

Perbedaannya adalah, ibu bekerja menanggung double risk dalam hal ini.  Karena sang ibu berjauhan secara fisik, maka publik cenderung lebih mudah beropini bahwa anak-anak yang bermasalah dan ibunya kebetulan bekerja, maka masalah itu adalah salah ibunya. Meskipun tidak selalu demikian.  Karenanya ibu bekerja harus punya mental baja dan energi yang selalu harus diisi ulang untuk mengendalikan double risk ini. Siapa sih yang ingin anaknya bermasalah?... Memangnya ibu bekerja buat apa?... Buat apa bekerja demi anak kalau justru anak yang menjadi salah satu “korban”.
Ini beberapa tips yang sempat muncul di pikiran saya untuk pengendalian risiko yang terkait dengan keterbatasan kebersamaan fisik anak-ibu bekerja:

1.      Tingkatkan Kualitas Komunikasi

Jangan patah semangat ketika waktu pertemuan fisik kita dengan anak hanya tersisa beberapa jam sepulang kantor dan setidaknya satu jam di pagi hari sebelum berangkat ke kantor.  Manfaatkan sebaik-baiknya dan tingkatkan kualitasnya.  Usahakan disiplin pulang ke rumah tepat waktu, kalaupun terlambat biasakan itu karena hal mendesak dan komunikasikan dengan anak-anak.  Biasakan berkomunikasi dengan jujur kepada anak-anak.  Jika anak-anak masih balita, katakan hal-hal positif dari dalam hati.  Tatap mata anak-anak kita dengan perasaan penuh perhatian saat bercakap-cakap dengan anak-anak.  Percayalah kadang kita mengabaikan pentingnya bahasa tubuh. Padahal, itu bekerja ampuh kepada anak-anak. 

Usahakan temani anak-anak di bawah usia 8 tahun menjelang tidur.  Untuk balita, biasakan mendongeng dan sisipkan nilai moral di dalamnya.  Mulai usia 6 tahun, kita sudah dapat mencanangkan waktu bercerita , yaitu ibu dan anak saling bercerita mengenai keseharian setiap sebelum tidur.  Ibu bisa menceritakan pernak-pernik di perjalanan, di kantor, atau hal lain.  Sang anak pun bebas bercerita.  Dengan cara ini kita dapat mengencourage anak-anak untuk mengungkapkan perasaan dan menyampaikan dalam kalimat yang orisinil.  Kita juga bisa menggali kebutuhan anak dari sini. Pada prinsipnya, anak-anak butuh didengarkan.  Tahan diri untuk memberikan nasihat.  Bersikaplah responsif.

Ingatlah pula bahwa di malam hari anak-anak telah lelah dengan kegiatan sehari.  Jangan bebani mereka dengan nasihat-nasihat kita yang panjang dan memekakkan telinga.  Tanyakan kepada mereka apa yang mereka inginkan.  Jangan terkejut ketika sesungguhnya mereka hanya ingin sekedar main kuda-kudaan dengan ibunya, atau minta ibu mendengarkan hafalan Quran mereka.  Mereka ingin dipuji.  Mereka ingin dihargai hasil kerja kerasnya menghafal. 

Yakinlah bahwa kebersamaan yang singkat itu jika dilakukan secara teratur dan konsisten akan membawa dampak yang positif bagi anak.  Anak akan menghargai ibu karena betapapun lelahnya ibu mereka sepulang bekerja, masih bersedia bermain dengan mereka.  Saya paham bahwa tubuh anda akan terasa remuk redam karena lelah, tapi percayalah, semua itu adalah tanggung jawab kita sebagai ibu yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya.  Jangan menyerah!!!
  
2.      Kuatkan Kedekatan secara Emosional

Seorang ibu yang bisa membuat anak-anaknya selalu teringat pesan dan kata-katanya walau sang anak jauh darinya, adalah ibu yang sukses membuat anak dekat secara emosional.  Itu tidak terjadi dalam hitungan hari.  Butuh waktu dan upaya yang konsisten.  Ciptakan kondisi nyaman dengan anak-anak lalu berbicaralah dengan mereka sambil mendekap atau memangku sang buah hati. Jangan sedih bila ada penolakan pada anak.  Cobalah pahami sebabnya.  Biasanya penolakan terjadi karena anak tidak merasa nyaman.  Hanya anda yang tahu betul anak-anak anda dan bagaimana menciptakan kondisi nyaman bersama mereka.

Jangan cukup puas dengan balita Anda yang selalu ingat kata-kata Anda, kebanyakan balita masih menganggap ibu adalah role model terbaiknya.  Jika Anda tidak konsisten, ketika balita Anda tumbuh besar dan semakin luas pergaulannya, Anda akan tersingkir jika tidak mampu terus menjalin kedekatan emosional.  Pada tahap perkembangan usia yang selanjutnya, cara menjalin kedekatan emosional dengan anak akan berbeda-beda.  Di sini kita sebagai ibu harus terus belajar tentang ilmu parenting dan perkembangan zaman.  Mau tidak mau harus siap.  Siap terkuras waktu, energi, dan pikiran.  Semangat!!!

3.      Tumbuhkan Karakter Positif

Dalam setiap kesempatan, ajari anak-anak untuk saling mendoakan.  Tanamkan kekuatan doa yang besar, bahwa doa mampu membuat kita pasrah sekaligus kuat.  Bahwa doa adalah penyambung keselamatan dari Yang Maha Kuasa saat ibu dan anak tidak dalam keadaan bersama-sama.  Yakinkan anak bahwa selama ibu dan anak terhubung dengan doa, selama itu pula kekuatan yang berasal dariNya akan melindungi mereka. 

Tularkan dan tumbuhkan karakter penuh semangat, positive thinking, rasa percaya diri, dan empati kepada anak-anak kita.  Caranya adalah dengan terlebih dahulu menanamkan karakter itu pada diri kita.  Biarkan anak-anak usia Sekolah Dasar memahami bagaimana payahnya naik kendaraan umum ke kantor, merasakan kemacetan lalu lintas, penuh perjuangannya membuat sebuah presentasi yang bagus, dan pentingnya membagi waktu.  Tunjukkan pada anak-anak kita bahwa semangat mampu membuat kita lebih berenergi dengan cara selalu tersenyum walaupun lelah.  Anak-anak akan menangkapnya.  Mereka adalah peniru yang handal.  Kita hanya tinggal bertingkah seperti model, dan mereka akan meniru dengan cepat.  Buktikan sendiri !!

4.      Manfaatkan Teknologi

Ibu bekerja seharusnya bisa memanfaatkan teknologi sebagai piranti komunikasi. Permudah kebutuhan kita akan pengendalian risiko saat anak tidak bersama kita dengan teknologi.  Jika anak-anak mulai suka membaca e-book, berikan anak-anak sebuah tantangan untuk membuat resensi buku dan mengirimkannya via e-mail kepada Anda pada tenggat waktu tertentu.  Berikan kesempatan pada mereka menikmati sensasi deadline dengan memanfaatkan teknologi.  Beri respon dan ciptakan momen.  Itu tugas kita!

Pada akhirnya, sebuah risiko bisa menjadi bola salju yang bila meluncur dari ketinggian sana akan menghantam kita yang walaupun berdiri gagah namun berada di lembah. Sekali lagi, ibu bekerja adalah manusia biasa yang bisa lelah dan lemah.  Percayalah bahwa Allah tidak pernah tidur.  Selama para ibu bekerja mampu menjaga ridha suaminya tetap pada tempatnya, dan berikhtiar dalam tanggung jawabnya sehingga anak-anak tetap mendapatkan haknya secara properly, saya pikir para ibu bekerja masih berada di track yang semestinya.  Tidak ada kata lain yang pantas saya tulis untuk mengakhiri tulisan ini selain: Semangat!! Be positive.

**Jakarta, 9 Desember 2014

Tulisan adalah sepenuhnya berdasarkan opini, pengamatan, perasaan, serta pengalaman penulis. Dan sepenuhnya ditulis untuk melapangkan pikiran dan hati sebagai ibu bekerja, sekaligus menyemangati diri sendiri.  Semoga Allah melindungi anak-anak saya.....dan semoga saya mampu selalu menjaga ridha suami saya pada jalurnya sehingga tidak sia-sia jerih payah ibu dalam bekerja. Memang rasanya itu tidaklah mudah, tetapi itu MUNGKIN.  Saya ingin bisa selalu memperbesar kemungkinan itu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...