Senin, 21 Maret 2016

Anak Mandiri Menjawab Tantangan Zaman


Orang tua dan anak dilahirkan dan dibesarkan pada zaman yang berbeda. Konsekuensinya mereka pun mengalami proses menghadapi problem yang berbeda. Tantangan seiring perubahan zamanpun semakin tak terbendung. Problem dan tantangan yang lebih disebabkan oleh perkembangan teknologi dalam perbedaan generasi, nyaris selalu memisahkan cara bersikap orang tua dan anak pada dua kutub yang berbeda.  Apakah kita sebagai orang tua sudah yakin bahwa kita telah berada di alur yang benar untuk mempersiapkan anak mandiri pada zamannya dengan tantangan yang akan dihadapinya?...

Itulah yang mendorong saya ingin sekali ikutan workshop The Urban Mama Modern Mama 2016: Raising Children Who Think For Themselves di Sabtu 2 April 2016 nanti.  Sudah tak sabar ingin menggali ilmu dari Ibu Elly Risman,MPSi dan Pak Adhitia Mulya.  Walau berkali-kali ikut workshop Ibu Elly Risman, saya tak pernah bosan.  Saya butuh ulasan tajam beliau yang tanpa tedeng aling-aling untuk melecutkan semangat saya sebagai orang tua.

Sudut Pandang Kemandirian

Sebagai orang tua, saya sangat tersentuh dengan kisah Prof. Rhenald Kasali dalam kuliah online nya di sebuah situs internet.  Dalam kuliah bertajuk “ Self Driving: Are You a Driver or a Passenger?”, Prof. Rhenald Kasali menceritakan kegagalan orang tua kaum menengah yang sekarang anak-anaknya berusia sekitar 17 tahun dan mulai mengecap bangku kuliah di perguruan tinggi ternama di Indonesia.  Anak-anak yang biasa dicukupi orang tuanya itu, ternyata jauh dari mental mandiri. Selain tidak berani membuat keputusan bagi dirinya sendiri, mereka sebagian besar juga merasa takut ketika harus melakukan hal-hal baru tanpa bantuan orang tua. Menurutnya ini menyedihkan, karena usia mereka sudah dewasa. Seharusnya, mereka sudah memiliki keinginan-keinginan yang sedianya diperjuangkan untuk diwujudkan, bukan lagi bertanya pada orang tua dan berkata terserah kata mama atau papa.     

Prof. Rhenald mengungkapkan bahwa mental “passenger” masih kental di kalangan anak golongan menengah, dibandingkan mental “driver”.  Mereka cenderung menjadi pengikut yang tidak terlatih untuk bermental mandiri.  Salahkan jika beliau mengatakan bahwa ini adalah kegagalan orang tua?... Saya pikir tidak salah.  Benar mungkin ada pengaruh dari sistem pendidikan nasional dan sistem sosial di Indonesia yang turut mempengaruhi sempurnanya kegagalan ini.  Tapi kenyataan yang terjadi ini pertama-tama membuka khasanah berpikir saya sebagai orang tua. 

Bagaimanapun, kunci pertama pendidikan dan pengasuhan anak ada pada orang tua. Apakah kita sudah memiliki mindset kemandirian dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita ketika mereka kita lahirkan ke dunia? Ingatkah kita, seberapa tega kita melepas anak-anak ketika belajar berjalan di usianya yang menjelang satu tahun?... Seberapa tegar kita menanamkan kepada anak-anak untuk menyelesaikan PR nya masing-masing, makan sendiri walau berlepotan, dan ikut serta dalam pekerjaan rumah tangga?....

Kita orang tua, harus jujur, bahwa kadangkala kita sediri yang memasang barrier ketika anak belajar untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Kita sering tidak sabar dan tidak tega.  Kita menginginkan anak yang mandiri, tetapi kita sering lupa bahwa kemandirian itu tidak datang dengan sendirinya.  Mandiri adalah skill yang harus dilatih.  Konsep kemandirian itu pula harus ditanamkan oleh kita orang tuanya sedini mungkin.  Berangkat dari itu semua, sebagai orang tua saya ingin menggali dan mempraktikkan agar anak-anak kelak tidak bermental pengikut saja, seperti kenyataannya terjadi di generasi saat ini yang dikemukakan Prof Rhenald.

Mandiri Sesuai Usia

Membiasakan anak balita makan sendiri merupakan latihan
kemandirian yang paling sederhana 
Anak yang mandiri artinya anak yang mampu untuk melakukan sendiri hal-hal sesuai dengan kapasitas perkembangan psikomotorik nya tanpa dibantu orang tuanya atau orang lain.  Jadi, kemandirian anak tidak dapat disamaratakan.  Tiap-tiap tahap perkembangan usia anak, ada hal-hal yang dalam cakupan wajar seharusnya sudah bisa dilakukan sendiri oleh anak-anak tanpa bantuan orang tua. 

Anak-anak usia 4 -5 tahun sudah ada yang terlatih untuk pergi dan pulang sekolah tanpa diantar orang tua.  Mereka ikut kendaraan antar jemput sekolah dan mengikuti kegiatan di sekolah sampai selesai tanpa minta ditunggui orang tuanya. Tapi ada juga yang masih menangis dan harus ditunggui orang tua sampai waktunya pulang sekolah. Di usia ini ada anak yang sudah bisa makan sendiri, ada pula yang masih disuapi oleh orang tua atau pengasuhnya.   

Pada usia balita, kita tidak bisa serta merta mengatakan anak kita mandiri atau tidak mandiri.  Karena pada masa inilah kemandirian itu sedang seharusnya intens ditanamkan dan dilatih untuk dilakukan. Anak-anak usia balita masih membutuhkan kasih sayang dalam bentuk pelukan dan ciuman serta kehadiran fisik yang sangat berarti. Mereka masih sangat senang bermain.  Jadi, konsep kemandirian pun seharusnya kita tanamkan dalam kerangka kasih sayang dan bermain.

Jangan pernah berharap anak mau berlatih mandiri ketika kita orang tuanya justru terlalu keras atau terlalu lembek. Kuncinya ada di kasih sayang dan bermain, yang dikomunikasikan dengan berkesinambungan dari waktu ke waktu, seiring usia anak.  Kita orang tua sering terlalu sibuk dalam pekerjaan hingga larut malam sehingga memeluk anakpun lupa.  Ketika kita sadar, anak sudah terlanjur besar.  Dia tak mau lagi dipeluk.  Tapi konsep mandiri pun belum tertanam.  Jadilah anak kita besar tapi tak berhati besar.  Jadilah dia berbadan kuat tapi tak bermental kuat.  Dan jangan menyesal ketika di usia 17 tahun anak kita pun tidak punya keberanian untuk memilih jurusan di PTN mana untuk kelanjutan studinya.

Berlatih dan Komunikasi

Berlatih mandiri dapat dimulai sejak balita.  Membiarkan anak kita merasakan sakitnya jatuh saat naik sepeda, capeknya membereskan mainan dan alat-alat setelah digunakan, dan membiasakan makan serta pakai baju sendiri adalah latihan sederhana yang bisa dilakukan. 

Memang mudah diucapkan, tetapi pelaksanaannya tak segampang itu.  Bagi ibu yang bekerja di luar rumah, kadang kita tidak dapat mengontrol apakah pengasuh anak sudah melaksanakan konsep mandiri yang kita ajarkan.  Belum lagi jika ada nenek kakek yang cenderung memberikan pengaruh juga pada pola pengasuhan. 

Namun, itulah dinamika.  Itulah letak tantangannya bagi orang tua.  Apakah kita akan menyerah?.... Setidaknya kita akan berdamai dengan kenyataan dan tetap berusaha menjalankan strategi agar kemandirian dapat ditanamkan.  Berdasarkan pengalaman saya, anak-anak ketika ditinggal ibunya bekerja justru bersikap lebih mandiri ketimbang ketika mereka bersama-sama orang tuanya. Saya sering bertanya kepada pengasuh anak-anak, bagaimana keseharian anak-anak ketika saya tinggal bekerja.  Jawabannya sungguh di luar perkiraan saya.  Anak-anak kadang berinisiatif mandi sendiri, makan sendiri, membereskan mainan sendiri, bahkan pergi sholat tanpa disuruh. Para pengasuh mengatakan, mereka tak pernah direpotkan oleh anak-anak.  Anak-anak bersikap baik dan tertib.  Kalaupun rusuh, dalam hal wajar saja.  Mereka makan apapun yang dimasak, seperti pesan ibu sebelum berangkat kerja.  Kalaupun mereka menginginkan sesuatu, mereka lekas menelpon saya. 
Latihan mandiri usia balita dengan belajar mencuci
tangan tanpa dibantu 

Jadi, secara natural, anak-anak memiliki kemampuan untuk survive saat tidak bersama orang tuanya. Di sinilah poin utama untuk kita manfaatkan dalam mengembangkan kemandirian.  Ajaklah pengasuh untuk memahami pola pengasuhan yang kita harapkan, bicarakan baik-baik.  Jadikan para pengasuh sebagai perpanjangan tangan kita dalam melatih kemandirian anak ketika kita tidak bersama-sama anak.  Ketika kita pulang bekerja, segera tunjukkan keterlibatan fisik kita dengan anak-anak, agar mereka merasa disayang dan diperhatikan.  Minimalkan konflik dengan kakek nenek dengan cara memberikan pengertian bahwa melatih mandiri itu kelak untuk kebahagiaan cucu mereka sendiri.

Kita sebagai orang tua harus memiliki keyakinan bahwa melatih kemandirian akan membuahkan hasil jika dilakukan berkesinambungan, tanpa jeda.   Komunikasi yang efektif dengan anak-anak mutlak dibutuhkan. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang tidak mengarahkan, tidak menghakimi, tidak bertendensi apapun kepada anak.  Komunikasi efektif hanyalah mengetahui apa yang dirasakan anak-anak dan membuat anak-anak merasa dipahami akan perasaan yang dirasakannya itu.


Rasanya tak ada yang mudah dalam dinamika ini.  Tetapi mengingat tugas pengasuhan yang utama adalah tugas orang tua, tidak ada alasan kita untuk mundur atau mendelegasikan seluruhnya pada sekolah atau pengasuh.  Kita semua ingin anak-anak kita mampu menghadapi tantangan di zamannya kelak.  Itu harus dilatih sejak kecil.  Kita orang tua, adalah pelatih utamanya.  Yang lain adalah perpanjangan tangan orang tua.  Ayo kita semangat, dan jangan mudah menyerah.  Marilah kita bercermin, semandiri apakah kita....sebaik apa komunikasi kita dengan anak....dan sudah pantaskah kita para orang tua menjadi pelatih utama.... apakah yang harus kita perbaiki dalam konsep kemandirian.... dan mana langkah yang terlanjur salah.....  Tidak ada kata terlambat karena terlambat jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.  Menyerah artinya menghancurkan masa depan generasi.  Jadi, jangan menyerah!!!! 


**tulisan ini semata-mata pemikiran spontan saya sebagai orang tua, tidak dilatarbelakangi oleh ilmu psikologi apalagi penelitian.  semata-mata dituliskan untuk melecutkan semangat orang tua, bahwa kadang ada yang salah dalam pola pengasuhan kita, namun jika kita mau belajar dan menggali ilmu dari ahlinya, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki. jangan malu jadi orang tua pembelajar.  jangan malu ketika kita salah.  tapi malulah jika kita tidak punya upaya untuk memperbaiki.   






Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...