Kamis, 11 Desember 2014

Perempuan Perempuan Yang Terkikis Nuraninya

Kerasnya hidup dan ketatnya persaingan konon katanya membuat orang lebih terpacu untuk survive. Ya, barangkali benar. Tapi nampaknya, ada yang terkikis nuraninya saat kerasnya hidup dan ketatnya persaingan tidak disertai dengan apresiasi ataupun perolehan reward yang sepadan. Secara jasmani mampu survive, tetapi secara ruhaniah nuraninya terkikis perlahan-lahan.
Fenomena ini saya temui pada perempuan pekerja yang sehari-hari terbiasa dengan “pertempuran luar biasa” di Commuter Line Jabodetabek. Pergi dan pulang kerja dengan menggunakan jasa angkutan Kereta Rel Listrik (KRL) yang dikelola PT Kereta Api Commuter Jabodetabek (CAJ), bukan saja butuh stamina fisik yang tinggi, tapi juga mental yang baja. Pada jam sibuk pergi dan pulang kerja, hampir tidak ada gerbong yang tidak sesak. Saya katakan bukan sekedar penuh ya, melainkan sesak. Betul-betul sesak sampai proses penutupan pintu gerbong secara otomatis harus seringkali terhambat. Ada saja yang menyembul dan mengganjal, entah itu tangan penumpang, atau tas yang menyembul keluar akibat begitu sesaknya isi gerbong.
Jadi, perempuan-perempuan yang berjejalan di dalam gerbong itu, setiap hari harus mempersiapkan fisiknya untuk tergencet, terhimpit, terdesak, dan terdorong. Jangankan untuk bergerak atau menggeser posisi, bernafaspun harus tersodok-sodok kepala orang yang ada di depan dan samping. Saking padatnya. Di gerbong satu dan delapan atau sepuluh, para perempuan itu mungkin masih bisa menahan risih karena berdesakan hanya dengan sesama perempuan. Sebab gerbong paling depan (satu) dan paling belakang (8 atau 10) adalah gerbong khusus perempuan.Bagaimana dengan gerbong dua sampai sembilan?….. Mohon maaf, saya tidak berani mengulangi untuk naik di gerbong campur, karena rasanya amat sangat risih. Berdiri berdesakan tanpa jarak antara laki-laki dan perempuan, itu sangat jauh dari nyaman. Diberi tempat duduk?… Bermimpilah. Dengan membawa perut besar karena sedang mengandungpun, Anda harus siap dengan kekejaman di arena ini karena jika kursi prioritas telah penuh terisi, mungkin hanya satu dari sekian puluh penumpang yang ridho memberikan kursinya pada Anda.

Saya mengalami dua kali mengandung selama menggunakan jasa commuter line, dan sudah terbiasa dengan kekejaman ini. Karena saya merasakan betapa beratnya menanggung resiko itu, saya bersumpah tidak akan pernah membiarkan orang hamil berdiri di kereta. Resiko kontraksi akibat terlalu lelah dan tegang, resiko terjatuh karena terdorong, dan resiko pendarahan. Saya rasa semua perempuan sadar bahwa dalam kondisi ini, mereka bertaruh nyawa. Nyawanya, dan nyawa bayinya.

Baiklah, itu tadi gambaran kasar saja. Bahwa fisik prima itu penting bagi para perempuan “anker” (anak kereta). Tapi secara mendetil, saya katakan bukan semata fisik saja. Mental lebih-lebih. Menurut Anda, masih mampukan Anda bersikap halus dan sopan ketika ada orang yang dalam kondisi ini tidak suka tubuhnya terdesak lalu dengan judes memaki Anda? Hei, naik taksi saja kalau tidak mau berdesakan ya…. mungkin kalimat itulah yang akan keluar dari mulut Anda.Atau ketika ada yang dengan semena-mena mempertahankan posisi nyamannya sehingga mempersempit ruang gerak orang lain disekitarnya? Atau yang dengan kasar menumpukkan barang-barangnya di atas tas laptop Anda?… Masih bisa sabar?…. Bagus sekali jika YA. Lalu, ketika ada yang tidak mau bergeser sementara Anda sedang berjuang mencari celah untuk bisa sampai di pintu kereta ketika stasiun tujuan Anda sudah dekat, masih bisa sabar dan tanang? Resikonya Anda tidak sempat turun dan pintu kereta sudah tertutup. Ketika ada yang minta diambilkan tas atau barangnya dari atas bagasi tanpa mengucapkan “Maaf”, “Tolong” dan “Terima Kasih”, sementara saat membantunya Anda hampir jatuh dan terinjak oleh yang lain, kira-kira bagaimana rasanya?….
Ya, rasanya memang perempuan-perempuan di gerbong KRL ini sudah terkikis nuraninya. Setiap hari dalam kondisi jauh dari nyaman, membuat mereka tak lagi humanis. Rasa kemanusiaan luntur. Saya rasa begitu ya, walau mungkin tidak seluruhnya demikian. Turun dari kereta, saya sering merasa seperti memar-memar habis digebukin. Karena kadang posisi berdiri tidak sempurna, sebelah kaki tertekan tiang, atau miring. Kondisinya memang tidak manusiawi. Dampaknya, perempuan-perempuan di dalamnya juga kehilangan humanisme. Terkikis nuraninya. Tidak lagi peka untuk mengucapkan kata-kata yang sopan, dan barangkali kehilangan kelembutannya.
Jangan sangka bahwa hanya perempuan yang berdiri saja yang tidak nyaman.Mereka yang duduk, sebenarnya juga kebagian tidak nyaman. Dalam kondisi sesak, baris pertama penumpang yang berdiri di hadapan para penumpang yang duduk akan otomatis merangsek ke arah mereka yang duduk. Dengkul dan kaki mereka akan menjadi korbannya. Belum lagi perjuangan dari duduk-berdiri-menerobos kerumunan sesak sampai ke pintu kereta saat akan turun. Anda perlu persiapan sejak setidaknya tiga stasiun sebelum stasiun tujuan.
Baiklah, seperti saya katakan di awal tadi, ini adalah gambaran kerasnya hidup.Perempuan-perempuan yang memilih bekerja di luar rumah dan tidak sedikit dari mereka yang karena kondisi harus menjadi tulang punggung keluarga. Saya sering bertanya, masih sanggupkan mereka ketika sampai di rumah untuk memeluk dengan kelembutan anak-anaknya, menyapa dengan kata-kata lembut penuh kasih sayang anak-anaknya, dan tersenyum manis kepada anak-anaknya?…. Setelah bekerja dari pagi hingga sore, ditambah bonus perjuangan pergi pulang kerja dalam moda transportasi kereta api yang seperti ini?… Masih bisa?…
Para perempuan ini, memang bisa survive dalam kerasnya hidup. Survive secara jasmani, YA. Tapi ruhaniah?… Mungkin mereka kalah….. Ya, karena nurani perlahan terkikis…. Tidak lagi terlalu peka dengan toleransi sesama, menghargai orang lain, dan menolong dengan tulus. Merasa tidak perlu memberikan tempat duduk pada orang hamil karena kursi yang diduduki bukan kursi prioritas, dan merasa sudah harus berjuang untuk bisa duduk. Merasa tidak perlu minta maaf ketika tanpa sengaja menyikut atau menginjak orang, karena menganggap semua orang harus siap untuk disikut dan diinjak saat berada di kereta. Merasa tidak perlu mengucapkan terima kasih saat ditolong orang karena merasa tidak ditolong. Kemanusiaan sudah diabaikan.

Perempuan-perempuan yang terkikis nuraninya, dan mungkin salah satunya adalah saya, bagaimana mengembalikan humanisme itu ke dalam hati?…. Saya cuma punya satu jalan untuk saat ini, karena tidak mungkin mengharapkan kondisi perkeretaapian secara drastis berubah menjadi seperti di negara maju. Satu jalan yang mungkin bagi kita untuk mengembalikan nurani yang terkikis itu adalah sebuah tekad merubah mindset. Jika saat ini mindset kita adalah: Saya diperlakukan tidak manusiawi, karena itu wajar jika saya juga memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Ubah mindset itu dengan : Saya diperlakukan tidak manusiawi, dan saya merasakan betapa tidak enaknya diperlakukan begitu, maka saya tidak akan sekalipun memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi.
Apapun yang kita lakukan akan berbalik kepada diri kita sendiri. Itu pasti. Saya meyakini bahwa rasa sakit dan kecewa yang dibalaskan ke orang lain dengan rasa serupa akan kembali kepada kita dalam bentuk sakit dan kecewa juga. Sementara walaupun kita sakit dan kecewa, namun kita inversikan rasa kecewa dan sakit itu menjadi energi positif kebahagiaan dan kita tularkan kepada orang lain maka akan kembali sebagai kebahagiaan kepada diri kita. Kalaupun saya merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang terkikis nuraninya, saya bertekad untuk menjadi salah satu yang mampu mengembalikan nurani itu utuh dan bernilai. Semoga saya bisa. This is the next struggle.

**ditulis saat badan masih sakit sakit karena keseringan kegencet gencet di commuter line.... 

Rabu, 10 Desember 2014

“Ibu Bekerja PASTI BISA Berikan ASI Eksklusif”



YUP, Pasti Bisa.  Kenapa tidak?......  Kalau Anda ibu bekerja yang meninggalkan bayi hingga lebih dari 12 jam setiap harinya, dan menyerah untuk berjuang memberikan ASI eksklusif, kini saatnya meyakinkan diri kembali bahwa itu bukan suatu kemustahilan. Itu hal yang mungkin dan layak diperjuangkan. Karena taruhannya adalah generasi setelah kita.  YA, dan sesungguhnya di luar sana dari Sabang sampai Merauke, ada ribuan bahkan jutaan ibu bekerja yang juga sedang memperjuangkan hal yang sama untuk perbaikan generasi negeri ini. Hal yang sama juga terjadi di belahan bumi sebelah sana. Gerakan Pemberian ASI Eksklusif harus mendunia!

Jangan kuatir, hak-hak ibu bekerja untuk tetap dapat memberikan ASI eksklusif serta penyediaan Ruang Laktasi bagi pekerja perempuan yang menyusui dijamin oleh kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan (pasal 128) dan Peraturan PP No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.  Pasal 128 Undang - Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa:
1.    Setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis
2.    Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus
3.    Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan di tempat sarana umum
Sedangkan poin f pada pasal 37 PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif menyebutkan bahwa pihak eksternal wajib menciptakan kesempatan agar ibu dapat memerah ASI dan/atau menyusui bayinya di tempat kerja.

Perihal pentingnya ASI dan fasilitas Ruang Laktasi bagi pekerja perempuan yang menyusui juga ditandai dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama 3 Kementerian ( Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Kesehatan) pada tahun 2012. SKB ini difokuskan pada 2 (dua) hal yaitu pemberian kesempatan pada Ibu bekerja untuk menyusui dan atau memerah selama jam kerja serta penyediaan sarana ruang atau pojok untuk memerah dan/atau menyusui.


Dari segi kebijakan, Pemerintah Indonesia cukup responsif dalam mendukung agar ibu bekerja sukses menyusui secara eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan hingga dua tahun atau lebih. Walaupun kebijakan ini mungkin belum sepenuhnya mendapatkan respon yang positif dari pihak-pihak yang terkait.  Jangan jadikan itu sebagai kendala. Lebih baik, jadikan sebagai acuan dasar memperjuangkan hak-hak yang sepantasnya diperjuangkan.  Setuju ?

Izinkan saya sekedar sharing beberapa tips “Sukses Menyusui Bagi Ibu Bekerja” berdasarkan pernak pernik episode menyusui yang pernah saya alami.  Sukses di sini maksudnya adalah berhasil memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada bayi dan melanjutkan pemberian ASI hingga dua tahun atau lebih, dan bayi tumbuh sehat dalam tumbuh kembangnya.  Ini tips nya:

Sebelum melahirkan:
  1. Sejak usia kehamilan memasuki bulan ke 7, pelajari seluk beluk breastfeeding mencakup pengetahuan ASI, mekanisme kerja hormon (oksitosin, prolaktin, inhibitor) pada masa menyusui, profil dan kerja organ payudara dalam produksi ASI, teknik memerah dan menyimpan ASI perah, teknik memberikan ASIP pada bayi, teknik menyusui yang benar, dan updating info seputar hal-hal di atas. Info seputar hal tersebut dapat secara mudah diperoleh dari buku-buku, situs kesehatan, dan komunitas ibu hamil serta menyusui.
  2.  Mengkomunikasikan seluk beluk breasfeeding kepada suami (utk mempersiapkan jadi ayah ASI), keluarga dekat yang akan mendampingi pada masa melahirkan dan menyusui, serta calon asisten/ pengasuh bayi. 
  3.  Mulai bergabung dengan komunitas pro ASI dan aktif memperbaharui informasi.
  4. Mempersiapkan peralatan perah yang sesuai di samping tetap bersiap dan belajar memerah dengan tangan (mermet).
  5. Membersihkan payudara secara lembut dan teratur agar tidak terjadi penyumbatan.


Sesudah melahirkan:

  1. Melahirkan di RS/klinik/bidan yang pro ASI, Upayakan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) minimal 1 jam, dan upayakan rawat gabung (ibu dan bayi dalam 1 kamar, tidak dipisah).
  2. Mulai menyusui sesegera mungkin walau bayi belum tampak minta menyusu.  Dengan sering mendekap bayi di dada akan membuatnya merasa nyaman,  Kontak antara ibu dan bayi akan terjalin sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang ibu dan tanggung jawab memberikan yang terbaik untuk bayi
  3. Tidak perlu kuatir jika ASI tidak segera keluar.  Rasa kuatir hanya akan memperburuk kerja hormon.  Bersikap dan berpikir positif dan lakukan upaya yang sesuai untuk kasus Anda dengan berkonsultasi pada konselor ASI yang dapat dipercaya.
  4. Bayi normal tanpa indikasi medis mampu bertahan tanpa menyusu hingga 3 kali 24 jam, karenanya jangan kuatir bila pada tiga hari awal kehidupannya bayi tampak belum mau menyusu. Namun tetap dekatkan bayi ke dada ibu dan biarkan bayi merasakan dekapan hangat ibu. Cadangan makanan dalam tubuh bayi yang diperoleh selama dalam kandungan membuatnya masih survive selama 3 kali 24 jam.  Setelah buang air besar yang pertama (keluarnya meconium), biasanya bayi mulai menyusu dengan lebih intensif karena kebutuhan tubuhnya.
  5. Hanya menyusui bayi dengan ASI, tidak menambahnya dengan cairan apapun yang lain.  Yakinlah bahwa yang dibutuhkan bayi baru lahir hingga usia 6 bulan HANYA ASI. Pemberian cairan lain justru akan mempengaruhi produksi ASI.
  6. Perhatikan posisi dan perlekatan yang benar antara mulut bayi dan payudara ibu.  Posisi menyusui yang benar adalah sebagian besar (sekitar dua pertiga) areola masuk ke dalam mulut bayi saat menyusu, bukan hanya puting. Ini untuk memaksimalkan pemompaan alami gerakan mulut bayi yang akan mengeluarkan ASI dari sumbernya.
  7. Upayakan menyusui dan memerah ASI secara teratur.  Jangan melewati waktu memerah karena akan mempengaruhi hasil ASI perah secara kuantitas.  Disiplin menyusui dan memerah akan menjaga keberlangsungan produksi ASI.
  8. Beritahu rekan sekerja atau atasan Anda bahwa Anda dalam masa menyusui dan katakan pada jam-jam tertentu Anda berada di Ruang Laktasi untuk memerah ASI.  Sehingga, mereka tahu dan memahami kondisi Anda. Usahakan disiplin dalam hal waktu. Tetap laksanakan tugas-tugas dengan rapi sehingga orang-orang di sekeliling kita tetap appreciate melihat ibu menyusui yang penuh semangat.
  9. Menyusui sesering mungkin dan sesuka kapanpun bayi menginginkan jauh lebih baik, karena akan menjaga ASI diproduksi terus sebanyak kebutuhan yang dikeluarkan.
  10. Selalu berpikir positif dan percaya diri bahwa kita mampu untuk menyusui bayi.  Jangan mudah terpengaruh dengan ucapan nyinyir atau sinis orang lain karena kitalah ibu bagi bayi kita dan sebagai ibu kita mempunyai tanggung jawab utama terhadap anak-anak kita, bukan tanggung jawab dari orang-orang yang rajin mengomentari Anda.
  11.  Makan makanan bergizi dan  minum air putih dalam jumlah yang cukup, disertai dengan istirahat yang juga cukup agar stamina tubuh terjaga dan produksi ASI baik kualitas maupun kuantitas dapat berlangsung baik.
  12. Perbanyak doa dan ibadah menurut agama yang Anda anut.  Pertajam sisi ruhaniah kita, agar hati selalu tenang dan tenteram.
  13. Ciptakan mood booster, suasana hati yang riang gembira, penuh syukur dan berserah diri pada kekuasaan Tuhan, sehingga akan mempengaruhi kerja hormon dalam produksi dan kelancaran pengeluaran ASI.
  14. Jangan berkecil hati ketika hasil ASI perah tidak sebanyak yang diperkirakan, dan tidak usah membanding-bandingkan dengan jumlah ASI perah orang lain.  Syukuri setiap hasil perah ASI Anda dan sertai dengan sejumput doa untuk bayi Anda.  Tetap berpikir positif bahwa selanjutnya hasil perah akan lebih banyak, lebih berkualitas, lebih baik.  Percayalah, ini akan mempengaruhi kerja hormon dalam tubuh Anda.
  15. Manage stress dengan bijaksana.  Jangan biarkan perilaku Anda dipengaruhi dan diatur oleh tekanan hidup.  Beri kesempatan pada diri sendiri untuk menjadi subjek yang memiliki tujuan.  Tidak seorangpun berhak mengacau tujuan Anda kecuali taqdir dan ketentuan Allah.
  16. Sesuaikan target pencapaian karier anda.  Realistislah dengan kondisi Anda.  Jika anda mampu, tidak menjadi masalah.  Namun jangan memaksakan diri, apalagi mengorbankan masa menyusui untuk sebuah pencapaian karier yang lebih tinggi.  Anda yang tahu betul kapan Anda harus berjalan perlahan tetapi pasti, dan kapan Anda bisa lari sprint.
  17. Bergabung dalam komunitas ibu menyusui akan sangat menguntungkan karena Anda dapat saling berbagi pengalaman dengan sesama ibu menyusui.  Peer communication terbukti sangat ampuh untuk menumbuhkan semangat karena kita jadi tahu bahwa sekian banyak perempuan dalam posisi yang sama dan mereka bisa melalui tahapan periode menyusui dengan sukses!!..  Betapa itu cambuk semangat yang sangat ampuh!!


Hmmmm.... apalagi ya tips nya?... Sementara hanya itu yang terpikirkan.  Oya, jangan lupa.... setelah terasa lancar dan nyaman menyusui, biarkan bayi menyusu sekehendak hati mereka.  Jangan dibatasi.  Itulah hak mereka.  Kita sebagai ibu wajib memenuhi.  ASI adalah air kehidupan, yang sudah semestinya diberikan kepada anak kita dengan penuh rasa cinta kasih.  Ciptakan momen mendekatkan jiwa dan raga pada anak kita saat menyusui. Jangan menyusui sambil ngomel, mainan handphone, apalagi dengan hati kesal.  Bayi akan merasakan itu.  Sampai genap dua tahun, penuhi.  Lebih pun tak jadi soal, jangan paksa penyapihannya. Ada cara yang alami menyapih bayi (weaning with love). Yang ini akan ditulis artikelnya tersendiri.

Tetap semangat ibu bekerja....Tetap semangat ibu menyusui..... Salam semangat!!!


** Jakarta, 10 Desember 2014
Ditulis dengan sangat sangat bersemangat di jam istirahat kantor.  Semangat semangat semangat!!

Selasa, 09 Desember 2014

Manajemen Risiko Ibu Bekerja: Sebuah Keniscayaan


Ibu yang memilih untuk tetap bekerja di luar rumah dan meninggalkan anak-anak lebih dari 12 jam setiap harinya dihadapkan pada risiko terbesar dalam hidup. Risiko itu adalah keterbatasan waktu dan energi serta pikiran untuk memantau tumbuh kembang anak pada masanya yang akan berdampak serius pada masa depan generasi.  Dan setiap ibu yang memilih untuk mengambil risiko itu harus yakin benar bahwa ia mampu memanage risiko itu sehingga mampu mencegah atau meminimalisir terjadinya akibat yang tidak diinginkan.  Manajemen risiko bagi ibu bekerja, niscaya adalah sebuah keniscayaan.
                                     
                                      -----------------------------

Sebagai muslimah, saya meyakini bahwa Islam tidak melarang kaum perempuan untuk beraktifitas di masyarakat, bekerja dalam rangka membantu perekonomian keluarga dengan izin suami, ataupun masuk ke dunia politik dan mengungkapkan gagasan-gagasanannya.  Saya percaya Islam tidak melarang kaum perempuan untuk memiliki harta benda, berusaha pada bidang perekonomian atau kegiatan apapun demi menunjang pengembangan diri, keluarga, dan masyarakat terutama masyarakat muslim dengan ukuran kemaslahatan umat.  Meski demikian, tugas utama seorang muslimah adalah menjadi ibu yang teladan bagi anak-anaknya dan menjadi istri solihah yang setia bagi suaminya.  Tidak ada satupun yang boleh menjadi penghalang bagi tugas perempuan yang utama ini.  To be a lovely mom and  wife is a every woman’s dream.

Pada kenyataannya, seorang muslimah yang telah menikah dan melahirkan anak-anak, serta atas dasar pertimbangan bersama pasangan akhirnya memilih untuk tetap bekerja diiringi izin dari suaminya, mau atau tidak mau harus berani mengambil risiko atas tumbuh kembang anak-anaknya.  Kenyataan itu pula yang saya hadapi.  Dan harus dihadapi.  Bukan dengan modal nekat.  Kita- para ibu bekerja- harus punya modal yang cukup untuk memanage risiko yang dihadapi, rechargeble energy, mental baja, dan asa yang tidak pernah putus! Kita- para ibu bekerja- bukanlah manusia-manusia super yang memiliki itu semua dengan lengkap di dalam jasad multiseluler ini.  Kita- para ibu bekerja, kebetulan hanyalah manusia biasa yang menjalani taqdir dan pilihan-pilihan hidup satu paket dengan rasa syukur dan ikhtiar serta doa.  Dan kita- para ibu bekerja- secara sadar berada dalam dinamika hidup yang tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan manusia, melainkan juga atas kehendak Yang Maha Kuasa.

Kita semua tahu, bahwa risiko adalah bahaya, akibat, atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang.  Risiko dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, yaitu apabila terjadi suatu keadaan yang tak dikehendaki dapat menimbulkan suatu kerugian.  Secara umum, tahapan manajemen risiko yang biasa dijalankan dimulai dengan identifikasi yang dilanjutkan dengan pengukuran risiko.  Jika telah teridentifikasi dan terukur risiko tersebut, kita lalu dapat memetakan dan memantaunya.  Lebih jauh, kita akan mampu melakukan pengendalian terhadap risiko tersebut, bahkan mengevaluasinya untuk langkah lebih lanjut.

Saya mulai menyadari bahwa manajemen risiko bagi ibu bekerja itu mutlak diperlukan, ketika bayi pertama kami lahir.  Semua ibu bekerja tahu betul bagaimana rasanya ketika hari pertama kembali bekerja setelah cuti melahirkan berakhir itu dijalani. Tidak akan pernah terlupakan rasanya sepanjang hidup.  Bagaimana rasanya meninggalkan bayi yang sembilan bulan lamanya berada di rahim kita, untuk berangkat ke kantor, dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Bagaimana rasanya bibir ini mampu tersenyum memandangi foto buah hati kita saat memerah ASI di kantor, bercampur dengan rasa kuatir yang susah payah berusaha dilindas dengan sejumput doa yang tak pernah putus.

Ketika anak-anak semakin besar, setiap jam istirahat kita mungkin tak bisa menyuap makan siang dengan nikmat sebelum menelepon anak-anak kita dan meyakinkan mereka sudah makan siang serta dalam keadaan baik-baik saja.  Mendengarkan celoteh anak-anak melalui percakapan di telepon selalu menjadi mood booster saat bekerja. Demikian juga ketika ibu pulang dan disambut dengan suara riang anak-anak, membuat sirna semua lelah dan penat ibu. 

Ibu bekerja secara alami akan mampu mengidentifikasi risiko yang dihadapi.  Mulai dari risiko kehilangan waktu kebersamaan fisik, kesempatan mencurahkan kasih sayang dalam bentuk kehadiran fisik, penolakan anak karena merasa tidak diperhatikan, anak merasa diabaikan, dan tantrum anak berlebihan.  Risiko lainnya seperti judgement publik kepada ibu bekerja bila anaknya bermasalah, perkembangan anak akibat berganti-ganti pengasuh, hingga perasaan bersalah yang berlebihan pada diri ibu, patut dipertimbangkan.


Itulah risiko yang dihadapi ibu bekerja.  Selama anak-anak secara fisik tidak bersama kita-ibunya- banyak hal bisa terjadi.  Baiklah mari kita coba mengukurnya.  Risiko terbesar mungkin sama-sama kita rasakan pada risiko yang secara langsung berdampak pada anak, yaitu yang berawal dari keterbatasan kebersamaan fisik. Benar, bahwa ibu yang bekerja di kantor bagaikan bermimpi di siang bolong jika ingin anak-anaknya selalu berada dalam pelukan dan belaiannya pada jam kerja.  Ketika kita sudah dapat mengukur risiko-risiko yang dihadapi, kita lalu akan berusaha untuk memetakan dan mengendalikannya.

Dengan pemetaan risiko, kita paham mana risiko terbesar yang memerlukan fokus pengendalian dan bagaimana cara mengendalikannya.  Cara pengendalian risiko dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengendalian yang sifatnya menghilangkan atau mengurangi risiko; dan pengendalian yang sifatnya menahan atau memindahkan risiko ke pihak lain. Ambillah contoh, keterbatasan kebersamaan secara fisik ibu dengan anak.  Ini bisa dikendalikan dengan mengurangi keterbatasan.  Bagaimana mengurangi keterbatasan?  Bolehlah kita coba dengan meningkatkan kualitas kebersamaan dalam kesempatan apapun yang ada, dan menambah kuantitas serta kualitas kedekatan emosional sebagai penunjang kebersamaan fisik. 

Kita paham bahwa kebersamaan fisik itu penting, karena dengan hadir secara fisik maka anak dapat merasakan sentuhan dan belaian ibu secara kasat indra.  Tetapi kebersamaan fisik menjadi hampa ketika ibu dan anak secara fisik bersama-sama tetapi tidak saling berkomunikasi, menyentuh, memeluk, dan kontak mata.  Ini bisa terjadi pada anak-anak yang ibunya sepanjang hari berada di rumah, tetapi sang ibu asyik dengan dunianya sendiri.  Mereka menyusui bayinya sambil memainkan handphone, atau membiarkan anak bermain sepanjang hari di rumah tetangga padahal dengan sedikit effort sebetulnya mampu menciptakan suasana bermain yang edukatif dan menghibur sesuai perkembangan usia anak. 

Perbedaannya adalah, ibu bekerja menanggung double risk dalam hal ini.  Karena sang ibu berjauhan secara fisik, maka publik cenderung lebih mudah beropini bahwa anak-anak yang bermasalah dan ibunya kebetulan bekerja, maka masalah itu adalah salah ibunya. Meskipun tidak selalu demikian.  Karenanya ibu bekerja harus punya mental baja dan energi yang selalu harus diisi ulang untuk mengendalikan double risk ini. Siapa sih yang ingin anaknya bermasalah?... Memangnya ibu bekerja buat apa?... Buat apa bekerja demi anak kalau justru anak yang menjadi salah satu “korban”.
Ini beberapa tips yang sempat muncul di pikiran saya untuk pengendalian risiko yang terkait dengan keterbatasan kebersamaan fisik anak-ibu bekerja:

1.      Tingkatkan Kualitas Komunikasi

Jangan patah semangat ketika waktu pertemuan fisik kita dengan anak hanya tersisa beberapa jam sepulang kantor dan setidaknya satu jam di pagi hari sebelum berangkat ke kantor.  Manfaatkan sebaik-baiknya dan tingkatkan kualitasnya.  Usahakan disiplin pulang ke rumah tepat waktu, kalaupun terlambat biasakan itu karena hal mendesak dan komunikasikan dengan anak-anak.  Biasakan berkomunikasi dengan jujur kepada anak-anak.  Jika anak-anak masih balita, katakan hal-hal positif dari dalam hati.  Tatap mata anak-anak kita dengan perasaan penuh perhatian saat bercakap-cakap dengan anak-anak.  Percayalah kadang kita mengabaikan pentingnya bahasa tubuh. Padahal, itu bekerja ampuh kepada anak-anak. 

Usahakan temani anak-anak di bawah usia 8 tahun menjelang tidur.  Untuk balita, biasakan mendongeng dan sisipkan nilai moral di dalamnya.  Mulai usia 6 tahun, kita sudah dapat mencanangkan waktu bercerita , yaitu ibu dan anak saling bercerita mengenai keseharian setiap sebelum tidur.  Ibu bisa menceritakan pernak-pernik di perjalanan, di kantor, atau hal lain.  Sang anak pun bebas bercerita.  Dengan cara ini kita dapat mengencourage anak-anak untuk mengungkapkan perasaan dan menyampaikan dalam kalimat yang orisinil.  Kita juga bisa menggali kebutuhan anak dari sini. Pada prinsipnya, anak-anak butuh didengarkan.  Tahan diri untuk memberikan nasihat.  Bersikaplah responsif.

Ingatlah pula bahwa di malam hari anak-anak telah lelah dengan kegiatan sehari.  Jangan bebani mereka dengan nasihat-nasihat kita yang panjang dan memekakkan telinga.  Tanyakan kepada mereka apa yang mereka inginkan.  Jangan terkejut ketika sesungguhnya mereka hanya ingin sekedar main kuda-kudaan dengan ibunya, atau minta ibu mendengarkan hafalan Quran mereka.  Mereka ingin dipuji.  Mereka ingin dihargai hasil kerja kerasnya menghafal. 

Yakinlah bahwa kebersamaan yang singkat itu jika dilakukan secara teratur dan konsisten akan membawa dampak yang positif bagi anak.  Anak akan menghargai ibu karena betapapun lelahnya ibu mereka sepulang bekerja, masih bersedia bermain dengan mereka.  Saya paham bahwa tubuh anda akan terasa remuk redam karena lelah, tapi percayalah, semua itu adalah tanggung jawab kita sebagai ibu yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya.  Jangan menyerah!!!
  
2.      Kuatkan Kedekatan secara Emosional

Seorang ibu yang bisa membuat anak-anaknya selalu teringat pesan dan kata-katanya walau sang anak jauh darinya, adalah ibu yang sukses membuat anak dekat secara emosional.  Itu tidak terjadi dalam hitungan hari.  Butuh waktu dan upaya yang konsisten.  Ciptakan kondisi nyaman dengan anak-anak lalu berbicaralah dengan mereka sambil mendekap atau memangku sang buah hati. Jangan sedih bila ada penolakan pada anak.  Cobalah pahami sebabnya.  Biasanya penolakan terjadi karena anak tidak merasa nyaman.  Hanya anda yang tahu betul anak-anak anda dan bagaimana menciptakan kondisi nyaman bersama mereka.

Jangan cukup puas dengan balita Anda yang selalu ingat kata-kata Anda, kebanyakan balita masih menganggap ibu adalah role model terbaiknya.  Jika Anda tidak konsisten, ketika balita Anda tumbuh besar dan semakin luas pergaulannya, Anda akan tersingkir jika tidak mampu terus menjalin kedekatan emosional.  Pada tahap perkembangan usia yang selanjutnya, cara menjalin kedekatan emosional dengan anak akan berbeda-beda.  Di sini kita sebagai ibu harus terus belajar tentang ilmu parenting dan perkembangan zaman.  Mau tidak mau harus siap.  Siap terkuras waktu, energi, dan pikiran.  Semangat!!!

3.      Tumbuhkan Karakter Positif

Dalam setiap kesempatan, ajari anak-anak untuk saling mendoakan.  Tanamkan kekuatan doa yang besar, bahwa doa mampu membuat kita pasrah sekaligus kuat.  Bahwa doa adalah penyambung keselamatan dari Yang Maha Kuasa saat ibu dan anak tidak dalam keadaan bersama-sama.  Yakinkan anak bahwa selama ibu dan anak terhubung dengan doa, selama itu pula kekuatan yang berasal dariNya akan melindungi mereka. 

Tularkan dan tumbuhkan karakter penuh semangat, positive thinking, rasa percaya diri, dan empati kepada anak-anak kita.  Caranya adalah dengan terlebih dahulu menanamkan karakter itu pada diri kita.  Biarkan anak-anak usia Sekolah Dasar memahami bagaimana payahnya naik kendaraan umum ke kantor, merasakan kemacetan lalu lintas, penuh perjuangannya membuat sebuah presentasi yang bagus, dan pentingnya membagi waktu.  Tunjukkan pada anak-anak kita bahwa semangat mampu membuat kita lebih berenergi dengan cara selalu tersenyum walaupun lelah.  Anak-anak akan menangkapnya.  Mereka adalah peniru yang handal.  Kita hanya tinggal bertingkah seperti model, dan mereka akan meniru dengan cepat.  Buktikan sendiri !!

4.      Manfaatkan Teknologi

Ibu bekerja seharusnya bisa memanfaatkan teknologi sebagai piranti komunikasi. Permudah kebutuhan kita akan pengendalian risiko saat anak tidak bersama kita dengan teknologi.  Jika anak-anak mulai suka membaca e-book, berikan anak-anak sebuah tantangan untuk membuat resensi buku dan mengirimkannya via e-mail kepada Anda pada tenggat waktu tertentu.  Berikan kesempatan pada mereka menikmati sensasi deadline dengan memanfaatkan teknologi.  Beri respon dan ciptakan momen.  Itu tugas kita!

Pada akhirnya, sebuah risiko bisa menjadi bola salju yang bila meluncur dari ketinggian sana akan menghantam kita yang walaupun berdiri gagah namun berada di lembah. Sekali lagi, ibu bekerja adalah manusia biasa yang bisa lelah dan lemah.  Percayalah bahwa Allah tidak pernah tidur.  Selama para ibu bekerja mampu menjaga ridha suaminya tetap pada tempatnya, dan berikhtiar dalam tanggung jawabnya sehingga anak-anak tetap mendapatkan haknya secara properly, saya pikir para ibu bekerja masih berada di track yang semestinya.  Tidak ada kata lain yang pantas saya tulis untuk mengakhiri tulisan ini selain: Semangat!! Be positive.

**Jakarta, 9 Desember 2014

Tulisan adalah sepenuhnya berdasarkan opini, pengamatan, perasaan, serta pengalaman penulis. Dan sepenuhnya ditulis untuk melapangkan pikiran dan hati sebagai ibu bekerja, sekaligus menyemangati diri sendiri.  Semoga Allah melindungi anak-anak saya.....dan semoga saya mampu selalu menjaga ridha suami saya pada jalurnya sehingga tidak sia-sia jerih payah ibu dalam bekerja. Memang rasanya itu tidaklah mudah, tetapi itu MUNGKIN.  Saya ingin bisa selalu memperbesar kemungkinan itu. Amin.

Senin, 08 Desember 2014

Kenapa Mencinta, Mendua, Selingkuh?: Sex Drive, Romantic Love & Attachment


Cinta itu sederhana.  Ia merekah di tempat dimana ia terpelihara dengan baik. Cinta itu misteri, ya.  Karena hal yang sederhana kadang tidak dimengerti manusia dengan baik. Manusia memiliki love tank (tangki cinta) pada jiwanya dan tiga komponen cinta yang berbeda dalam otak namun bekerja secara bersamaan.  Itu sebabnya, manusia -baik laki-laki maupun perempuan- bisa mencintai seseorang tanpa bisa menjelaskan kenapa “dia” dan bukan “yang lain”, bisa memiliki perasaan mendua – mencintai dua atau beberapa orang yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, dan bisa berselingkuh – saat love tank nya setengah penuh atau kosong dan terhubung dengan lawan jenis dengan kondisi yang mirip.  Itu normal, namun berdampak depresi jika tak mampu mengelola dengan baik.  Antropolog Helen Fisher memaparkannya dalam seminar online yang bertajuk “Why we love, why we cheat” di situs TED.com.  Di sini, penulis mencoba mengkritisi dan mengadaptasikan teori Fisher dalam konteks kehidupan rumah tangga urban di Indonesia.

Pada dasarnya, Fisher memperkenalkan tiga komponen berbeda dalam otak manusia yang berperan dalam mating dan reproduksi yaitu  sex drive, romantic love, dan attachment.  Ketiganya memiliki orientasi yang berbeda namun bekerja bersamaan.  Sex drive didefinisikan Fisher sebagai “the craving for sexual gratification”, komponen yang mendorong aktivitas sexual, semacam “kelaparan” dan “kehausan” atas kebutuhan seks dengan lawan jenis.

Romantic love, lebih pada “kegembiraan” dan obsesi atas kebutuhan dicintai dan mencintai. Karakteristik romantic love ada pada kehausan akan kedakatan secara intensif dengan seseorang yag tertentu bukan hanya secara seksual tapi juga emosional. Romantic love bukanlah sebuah emosi/perasaan melainkan ia digerakkan oleh sistem otak manusia. Fisher sendiri awalnya menyangka romantic love adalah emosi, yang terdiri dari tingkatan emosi yang paling tinggi hingga yang paling rendah.  Risetnya selama bertahun-tahun membuktikan bahwa romantic love ternyata digerakkan oleh sistem otak manusia.

Sedangkan attachment adalah sensasi ketenangan dan keamanan yang dirasakan dari partner untuk jangka waktu panjang. Kita butuh kenyamanan dan keamanan itu sebagai hal yang manusiawi.  Ketika attachment dengan pasangan terputus, atau kurang, levelnya akan berbeda untuk tiap pasangan, maka kasus mendua bisa terjadi saat ada orang dekat yang kebetulan kuat attachmentnya kepada kita.

Penjelasan kenapa kita bisa jatuh cinta pada seseorang dan bukan orang lain, menurut Fisher terletak pada kosa kata “misteri”.  Ya, kita cenderung menyukai sesuatu yang misterius. Karena itulah kecenderungan kita ketika jatuh cinta kepada seseorang adalah ke pribadi yang jika dikaji adalah pribadi yang sangat tidak dimengerti.  Adanya perpaduan tiga komponen yaitu sex drive, romantic love, dan attachment yang bekerja bersamaan pada otak kita membuat kita akan cenderung jatuh cinta pada seseorang yang secara sexual menarik bagi kita, nyaman ketika berada di dekatnya, dan nyaman saat berkomunikasi dengannya dalam jangka waktu panjang (romantic love dan attachment).  

Kebutuhan romantic love dan attachment ini pula yang membuat kita selalu memikirkan orang yang kita cintai kapan saja di mana saja.  Tak salah lah jika orang mengatakan bahwa cinta itu sederhana sekaligus merupakan misteri.  Misteri itu tidak mudah dimengerti. Namun jangan lupa hal-hal yang sederhana juga kita kadang tidak memahaminya.

Jika kita sudah jatuh cinta pada seseorang dan menjalin hubungan hingga sampai ke jenjang pernikahan, bukan berarti semua kebutuhan tiga komponen cinta itu selesai.  Dalam kehidupan rumah tangga, pasangan tanpa disadari sering melupakan untuk selalu menjaga isi penuh love tank nya.  Kesibukan, anak-anak, pekerjaan, dan perbedaan-perbedaan yang dibiarkan larut membuat love tank semakin kosong.  Tanpa disadari, komunikasi tidak terjalin dengan baik oleh pasangan.  Apabila love tank tidak penuh, maka kemungkinan love tank itu terisi oleh orang lain yang sering berinteraksi dengan kita akan sangat mudah.  Saat itulah kemungkinan perselingkuhan akan terjadi.  Tahapannya bisa mulai dari kedekatan secara emosional (kebutuhan attachment saja) hingga kedekatan fisik, emosi, yang melibatkan baik hasrat seksual serta emosional (sex drive dan romantic love).

Ada mekanisme berbeda pada perasaan sexual drive, romantic love, dan attachment. Menurut Fisher sangat normal ketika dalam satu saat seseorang “swing” dari sex drive ke romantic love sekaligus ke attachment pada orang yang berbeda.  Komposisi hormon testosteron, serotonin, dan oksitosin di otak juga membuat perbedaan. Saat seseorang mendua, “cheat” atau berselingkuh sebenarnya ada “craving” …ada kelaparan atau kekosongan batin (love tank) yang tidak terisi/terpenuhi.  Ketika secara kebetulan bertemu dengan orang lain dengan kondisi yang mirip, terjadilah kedekatan dan perselingkuhan.

Fisher juga mengatakan bahwa seseorang bisa saja merasakan attachment yang dalam dengan seseorang, dan di sisi lain pada saat yang bersamaan merasakan romantic love dengan orang yang berbeda.  Bahkan, pada saat yang bersamaan juga menginginkan sexual drive dengan orang yang lain lagi.  Itulah kenyataannya.  Menurut saya, kenyataan itu perlu disadari dan menjadikan kita “aware” terhadap keadaan tersebut.  Bukan untuk dijadikan alasan pembenaran  free sex.  Sebagai muslim, exit strategynya sudah ada namun memang sering menimbulkan perdebatan untuk hal poligami.

Seseorang sangat mungkin hanya ingin merasa dekat dengan orang lain (swing attachment) tanpa ada ketertarikan seksual, karena kebutuhan attachment nya tidak terpenuhi oleh pasangannya.  Pada saat yang sama, bisa saja kemudian tahapan berikutnya romantic love dan sex drive yang berbicara.  Namun kejadian sebaliknya bisa terjadi.  Awalnya karena kebutuhan seksualnya yang tidak terpenuhi olah pasangan, maka tahapan “swing” berawal dari sex drive.  Jika keduanya terjadi bersamaan, kemungkinan romantic love berbicara lebih awal.

Kendatipun “swing” dari sex drive ke romantic love sekaligus ke attachment adalah hal yang normal, namun jika kita tidak “aware” akan menyebabkan proses yang menyangkut perasaan yang akan sulit diobati jika berlarut-larut.  Buntut panjangnya adalah depresi.  Pada perempuan yang sudah menikah, sering ada perasaan bersalah ketika mendua di tahap awal.  Bagi kita yang muslim, itu adalah “warning” untuk memperbaiki komunikasi dan hubungan interpersonal dengan pasangan dan sejauh mana kita telah berusaha menjadi istri dan ibu sebagaimana ajaran agama.  Sering pula, perempuan yang sudah menikah ketika mendua dan menemukan figur yang attachment nya lebih nyaman akan merasa kesulitan melepaskan diri. Mungkin, karena kebutuhan perempuan untuk didengarkan relatif jauh lebih besar dibandingkan laki-laki.   

Karena itulah, pengetahuan tentang “swing” sistem otak dari sexual drive ke romantic love sekaligus ke attachment harusnya membuat kita lebih “aware” terhadap kondisi yang mungkin kita alami.  Sehingga, kita punya pagar dan batasan kapan kita harus membatasi itu sebagai proses yang sedang terjadi.  Menurut saya, kunci akhirnya isi penuh-penuh love tank kita dengan pasangan.  Don’t ever let your love tank empty……..


Diadaptasi dan diolah dari materi seminar online “Why we love, why we cheat” oleh antropolog Helen Fisher pada situs TED.com

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...