Rabu, 03 Desember 2014

Keponakan Pak Menteri


SREEEEETTT.....grudug grudug grudug...............sreeeeet. Suara roda koper dorongku yang berisik terdengar sampai ke sepanjang lorong lantai delapan gedung Pusdiklat* ini. Diam-diam aku menciut, sebab hanya koperku yang mengeluarkan suara berisik. Di lantai dasar tadi, sebelum masuk ke lift, aku sempat berpapasan dengan para peserta Diklat** dari seluruh penjuru tanah air, tapi tak satupun koper mereka yang mengeluarkan suara “grudug grudug’ seperti milikku. Kuelus-elus koper tuaku, yang baru pertama kali mengikutiku keluar dari Yogyakarta ke Jakarta....ah tak apa....koper butut bersejarah....warisan kakak tertuaku. Aku belum sanggup membeli yang baru. 

Belum genap empat bulan aku menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Beberapa hari setelah wisuda, sebuah BUMN Expo melakukan rekruitment pegawai secara langsung di kampus. Aku melamar. Serangkaian tes yang panjang kujalani, dan berbuah kelulusan. Walau berat harus meninggalkan kota kelahiranku, tapi kubulatkan tekat untuk mengadu nasib di Jakarta. Kini, aku sudah berdiri di depan pintu kamar no 808. Kamar yang akan kutempati selama dua pekan ke depan, selama menjalani pendidikan dan latihan sebagai pegawai baru. 

Aku berdiri di depan pintu kamar, mencocokkan nomor kamar dengan nomor pada kartu identitas yang kuperoleh saat registrasi ulang di lantai dasar. Benar, kamar no 808. Di pintu itu telah tertempel kertas putih bertuliskan dua nama. Andri Amaranggana NR87358 dan Andri Irfanda NR87359. Oooh rupanya aku akan sekamar dengan Andri Irfanda. Kira-kira, dari mana ia berasal?....Seperti apa orangnya?... Sejenak aku sadari bahwa pintu kamar terbuka sedikit. Oh rupanya roomate-ku sudah tiba lebih dulu. Kuintip ke dalam, sayup terdengar suara musik....genre slow rock. Hooo....kenapa seleranya sama denganku ya?... Aku merasa sedikit terhibur....setidaknya dengan kawan sekamar yang seleranya sama akan membuat hari-hari jadi menyenangkan. 

“Permisii....Halooo...” aku mengucapkan salam sambil masuk ke dalam kamar. Tidak ada suara balasan. Aku terus masuk. Sejenak terpukau dengan bagusnya kamar yang akan kudiami. Jauh berbeda dengan kamar sempitku di Yogya.Lebih mirip dengan kamar hotel bintang lima yang kulihat di brosur-brosur. Hahaha....aku ndeso. Kusandarkan koperku di sudut kamar, lalu berjalan ke arah jendela. Jendela kaca yang besar sepanjang sisi dinding yang menghadap ke jalan raya menarik perhatianku. Tirainya telah digeser ke satu sisi, mungkin rekan sekamarku tadi yang melakukannya ketika ia datang lebih dulu. Dari jendela, aku bisa memandangi fly over (yang belakangan kutahu sebagai fly over Kuningan) dan ruas jalan Jendral Gatot Soebroto dalam kemacetan. Aku tahu nama jalan itu dari pembicaraan orang-orang di lantai dasar tadi. Ini Senin sore menjelang Maghrib, jam tanganku menunjukkan pukul 17.45 Wib.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri....tak ada tanda-tanda rekan sekamarku muncul. Di mana dia?... sebuah koper hitam yang sangat keren menurut ukuranku tersandar di ujung tempat tidur. Itu pasti miliknya. Pelan-pelan aku duduk di pinggir kasur. Wooow...empuuk. Ndeso ku muncul lagi. Tempat tidur ini kutaksir ukuran nomor 1. Cukup lega untuk berdua. Aku merabai seprainya yang berwarna krem, terasa dingin karena AC dipasang 20 derajat Celcius. Kulepaskan kerudung yang menutupi rambutku, menyampirkannya di tepi tempat tidur. Ingin sekali merasakan kenikmatan berbaring di kasur ini barang sebentar, sebelum kembali ke aula di lantai dasar untuk mengikuti kegiatan diklat. 

Sambil bersenandung mengikuti irama lagu yang terdengar, aku menikmati berbaring sejenak. Kucari sumber suara musik itu. Oooo rupanya dari telepon genggam teman sekamarku yang tergeletak di meja belajar. Aku lalu beringsut bangun. Kamar sebagus ini, seperti apakah toiletnya?.. Aku tergerak ingin tahu. Perlahan aku berjalan menuju toilet dan membuka pintunya. Dan ketika pintu itu terbuka, aku ternganga. Pemandangan di dalamnya membuatku harus berteriak histeris, Aaaaaaaaaaaaa...............!!!!! Aaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!

*********

Setelah teriakan itu usai aku bersegera menutup lagi pintu toilet, lalu berlari ke arah tempat tidur untuk mengenakan kerudungku. Cukup repot, karena dadaku berdegup kencang dan tanganku sedikit bergetar. Aku nyaris tak percaya pada penglihatanku. Tapi, tidak. Ini benar. Yang kulihat di dalam toilet tadi itu adalah seorang laki-laki.Bagaimana mungkin ada laki-laki di kamar ini?..... Kemudian aku sempat mendengar suara flash closet ditekan.Lalu cibang cibung air. Tak sampai dua menit kemudian pintu toilet terbuka dan seorang laki-laki seperempat baya keluar dari sana. 

“Hei, kamu siapa?” lelaki itu bertanya. Dia sama herannya dengan aku. Kalau dia heran kenapa ada perempuan di kamar ini, maka aku heran kenapa ada lelaki di kamar ini?.....

“Lho, kamu siapa?” aku balik bertanya. Kami saling bertatapan. Aku memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lelaki di hadapanku ini berwajah tampan, alisnya tebal, matanya dalam dan hidungnya bangir.Rambutnya hitam legam dengan cambang yang nyaris tersambung hingga ke dagu. Tubuhnya atletis dengan postur tegap, walau tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki. Kulitnya agak gelap.

Lelaki di hadapanku pun memandangiku tak berkedip. Senyum geli tiba-tiba tersungging di bibirnya. Aku kikuk.Kenapa dia geli?.... Dia menunjuk-nunjuk kerudungku. Oh ya tentu saja kerudung ini membuatnya geli. Aku berbalik ke cermin yang terpampang tepat di belakangku berdiri, dan melihat kerudungku terpasang miring kiri miring kanan. Sungguh konyol. Spontan keperbaiki letaknya sehingga terlihat sopan dan rapi. 
“Nah, begitu cantik,” ujar lelaki itu sambil tersenyum. Kali ini bukan senyum geli, tapi senyum yang lebih ramah. 

Aku tak bergeming. Masih heran dengan keberadaannya. Lelaki itu lalu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Aku menyambut salamnya. Walaupun guru mengajiku waktu SMP melarangku bersalaman dengan lawan jenis, tapi guru mengajiku ketika aku SMA bilang aku boleh bersalaman dengan lawan jenis asalkan tidak ada rasa berdesir di dada. Aku mengamati perasaanku, ah rasanya biasa saja, tidak ada desir. Kami bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing. 

“Andri,” kataku.
“Andri, ” katanya.
Aku dan dia sama-sama terkejut. 
“Aku Andri Amaranggana,” kataku menyebutkan nama lengkapku.
“Aku Andri Irfanda,” ujarnya menyebut nama panjangnya. 
Aku dan dia kembali terkejut. Jeda diam beberapa detik. Lalu kami berdua sama-sama nyengir. Kemudian tertawa geli. 

Terjawab sudah keherananku dan dia kenapa aku dan dia ada di sini. Rupanya namaku terlalu maskulin sehingga aku tersasar di kelompok laki-laki. Mungkin kekeliruan terjadi di administrasi. Wah, jangan-jangan seragam yang akan kudapatkan juga seragam laki-laki?.... 

“Kamu biasa dipanggil Andri juga?” tanyanya. Aku mengangguk. 
“Kamu?” tanyaku datar. 
“Irfan” jawabnya. Masih dengan sisa tawa. 
Kami lalu terlibat percakapan. 

“Kamu dari mana?” tanyaku sambil mengenakan kembali sepatuku. Maksud hatiku, aku ingin segera ke lantai dasar, melaporkan kejadian kesalahan pengelompokan kamar ini kepada panitia penyelenggara Diklat. Malam ini juga harus beres dong, tidak mungkin aku tidur sekamar dengannya. 

“Aku dari Yogya. Kamu?” Irfan menjawab dan balik bertanya.
Aku sedikit terkejut. Oh kami dari kota yang sama! “Sama, aku juga Yogya,” jawabku berdiri dan siap melangkah keluar pintu kamar. Bersamaan dengan itu, kumandang adzan Maghrib terdengar.
“Lho, mau kemana Andri?’ tanya Irfan
“Ke lantai dasar. Lapor lah. Supaya aku dipindah kamar. Mana mungkin aku tidur sekamar denganmu?” jawabku.

“Maghrib begini. Orang-orang di bawah juga pada sholat dulu kali. Mending kita juga sholat dulu yuk,” ajaknya.
Aku urung. Langkahku terhenti di depan pintu kamar. Ada benarnya juga kata Irfan. Aku lalu menurutinya. 
“Silakan wudhu duluan, Andri,” ia mempersilakanku. Aku lalu melangkah ke toilet. Sebelum masuk ke toilet, tiba-tiba aku teringat kejadian tadi. Aku menoleh ke arah Irfan dan tersenyum geli. Irfan kembali tergelak. 
“Hahahaha....sudah jangan diingat-ingat lagi. Hehehe....eh tapi memangnya tadi kamu sempat lihat apa Ndri?” tanyanya.

Aku cuma ketawa geli. Tidak menjawab. Tentu saja tadi aku melihat hal yang sepatutnya tidak kulihat. Wajah Irfan serta merta bersemu merah. Aku memalingkan wajah, ngga enak hati. 
“Tadi juga aku sepertinya melihat kamu tanpa kerudung,” kata Irfan sambil nyengir. Aku terhenyak. “Lihat jelas?” tanyaku. “Jelas sekali, dong. Kamu cantik,” ujarnya. 

Aku bergetar. Dan berdesir. Tiba-tiba aku teringat guru mengajiku ketika SMA. Heeei, aku tak sedang menjabat tangan lelaki itu. Saat ini aku berdesir karena dia bilang aku cantik. Oh tidak..... Cepat-cepat aku istighfar lalu masuk ke toilet untuk berwudhu.

********

Usai yang tiga rakaat itu, aku beringsut menuju pintu. Kaluar. Namun suara Irfan sekali lagi menghalangi
langkahku. 
“Ndri, nih coba lihat jadwal kegiatan. Jam 19.00 wib tepat kita sudah harus berkumpul di aula lantai dasar. Pakai baju putih hitam, lengkap dengan tanda pengenal dan membawa modul 1. Nih, lihat jadwal...” katanya menyodorkan buku panduan yang masing-masing sudah kami dapat tadi sore saat registrasi ulang.

Aku lagi-lagi terhenyak. Jam 19.00 itu artinya tidak lebih dari 45 menit dari sekarang. Sekarang? Kami masing-masing dalam keadaan belum mandi, masih mengenakan pakaian bebas, dan belum makan malam di lantai 9.Acara pembukaan dan modul 1 dijadwalkan sampai pukul 21.30 wib. Pastilah aku akan kelaparan jika tidak makan dan gatal-gatal kalau tak mandi. Rasanya memang hampir tidak mungkin mengurus kekeliruan penempatan kamar ini sekarang. Kepada siapa aku harus melaporpun belum tahu. 

Akhirnya kuputuskan menuruti lagi kata Irfan. Kami akan mandi dan makan malam terlebih dahulu, serta bergegas ke aula lebih awal untuk mencari panitia yang mungkin bisa membantu kami untuk dipisahkan kamar. 
“Kamu mandi duluan gih. Habis dandan kamu langsung keluar,” kataku padanya. Dengan begitu aku berharap bisa bebas di kamar ini. Risih ada lawan jenis, pastinya. Irfan merengut. “Kamu ngusir aku?... ya sudah, aku ngerti. Aku mandi duluan,” katanya mengalah. Good boy, pekikku dalam hati.

Irfan mandi dengan cepat. Ketika keluar dari toilet, ia masih berbalut handuk. Aku menutupkan dua belah tangan ke wajah. “Kenapa ngga pakai baju di dalam toilet sih?” protesku. “Baju putih hitamku cuma kebawa satu pasang.Satu pasang lagi baru mau diantarkan besok pagi, non. Aku ga biasa pakai baju di dalam toilet basah. Kalau baju jatuh dan basah gimana kamu mau tanggung jawab?” Irfan mengelak. “Alesaaaan...” ujarku sambil melengos.

“Hihihi...kalau melengos begitu kok jadi terlihat cantik ya...” Irfan menggoda.
Aku kembli berdesir-desir. Cepat-cepat aku masuk ke toilet untuk mandi. Saking terburu-buru, aku lupa membawa handuk. Baru teringat sementara seluruh pakaian baru saja kutanggalkan. Aku baru akan mengenakan kembali pakaianku untuk keluar mengambil handuk. Risih rasanya kalau berteriak dari dalam sini minta tolong Irfan mengambilkan handukku. Aku urung karena pintu toilet lebih dulu diketuk dari luar. Tok tok tok. “Andri, handukmu ketinggalan nih,” suara Irfan memanggil. 

Aku membuka pintu toilet dan bersegera menerima handuk dari tangannya. “Lho, belum buka baju?... hedeeeh pantesan sih perempuan mandinya lama,” katanya sambil nyengir. Aku melengos saja. Bersegera cibang cibung.Namun, betapa menyebalkan saat keluar dari toilet ternyata Irfan masih duduk duduk di kursi sambil memainkan telepon genggamnya.

“Kita keluar makan ke lantai 9 sama-sama aja yuk. Aku tungguin kamu dandan. Sekalian nanti kita lapornya sama-sama. Oke Andri?” katanya sambil tersenyum. Aku tak punya pilihan. Malas bertengkar dengan orang asing. Ya sudahlah. Kubiarkan Irfan menontonku berdandan. Lalu kami beranjak makan malam bersama 179 pegawai baru di lantai 9. Kami duduk satu meja dan berkenalan dengan beberapa teman baru. Saking asiknya bertemu teman-teman baru, kami lupa untuk melaporkan masalah kami. Tahu-tahu jam sudah menunjukkan pukul 19.00 wib dan kami sudah harus hadir di aula untuk pembukaan dan modul 1. 

*************

Penjelasan modul 1 tengah berlangsung di aula.
“Andri, kamu udah lama kenal sama cowok itu?” Syifa –rekan dari Ambon bertanya padaku berbisik-bisik di tengah penjelasan modul1. Syifa duduk persis di sebelahku.
“Irfan?...Oh baru tadi sore. Baru kenal. Kenapa?” tanyaku pelan.
“Kelihatannya sudah akrab, hehehe. Kukira kamu masih saudaranya. Namamu kan sama Andri. Kukira kamu juga keponakan Pak Menteri.” 
“Maksudnya?”
“Andri Irfanda itu keponakannya Menteri. Kamu belum tahu?... Kayaknya dia masuk tanpa tes deh. Tapi memang anaknya pinter sih.”
“Serius?”
Syifa mengangguk tegas. Lalu kembali pura-pura serius mendengarkan penjelasan modul 1. 
Aku terbengong-bengong sendiri.

**********
Pluk. Segumpal kertas jatuh di atas mejaku. Aku menoleh ke belakang, asal lemparan kertas itu. Wajah-wajah serius tak satupun bergeming. Syifa yang duduk disebelahku berbisik, “Keponakan Pak Menteri yang melempar kertas itu, Ndri.” 

Aku membuka gumpalan kertas itu, dan membaca isinya. “Andri, masalah kamar sudah beres. Kamu tetap tinggal di 808. Aku yang cao. Sehabis sessi modul 1 dan kembali ke kamar, baca pesanku di atas tempat tidur ya.... See u.” Aku diam sejenak. Kok bisa?... 
Ketika aku menoleh ke belakang, aku sempat melihat sosok Irfan berjalan keluar ruangan aula. Di depan pintu keluar ia berbicara dengan petugas, lalu tak kulihatnya lagi dia di situ. 

Sessi modul 1 selesai tepat pukul 21.30 wib. Aku kembali ke kamar 808. Di sepanjang lorong menuju kamar, teman-teman baru riang berceloteh. Tak hirau akan kantuk dan lelah. Aku mendapati dadaku berdegup saat memasuki kamar yang kosong. Selembar kertas di tempat tidur segera kuraih. Pesan dari Irfan.

Andri, aku pamit ya. Aku pergi. Kamu mungkin akan sendirian di kamar ini sampai diklat selesai. Tadi aku sudah menghubungi panitia via telepon dan mereka sudah minta maaf atas keteledoran memasukkan namamu ke kelompok laki-laki. Baik-baiklah di sini. Aku mengundurkan diri. Sebenernya keberadaanku di sini pun bukan kemauanku. Orang tua dan pamanku yang memberikan semua fasilitas dan kemudahan untuk bisa di sini tanpa tes. Tapi, aku tidak menginginkannya, tepatnya aku ingin memilih sendiri pekerjaan yang lebih pas untukku. Tapi, syukurlah aku sempat di sini sejenak...karenanya bisa berkenalan denganmu. Maaf aku meminta nomor teleponmu dari panitia, ini nomorku 081xxxxxxxxxxx. Kalau kamu tidak keberatan, besok siang jam istirahat aku ingin meneleponmu. Tolong kirimkan pesan setuju jika kamu berkenan. Aku sangat berharap kita bisa berkenalan lebih jauh. Aku di Jakarta. Tak jauh darimu. Salam. Irfan.”

Aku tergugu. Benar kata Syifa. Dia keponakan Pak Menteri. Lalu, apa ?... Apakah karena dia keponakan orang penting di negeri ini, lalu aku jadi gimana-gimana gitu?... Tidak, masalahnya bukan karena di keponakan siapa, masalahnya adalah...... 

Aku meraih telepon genggamku. Nomor Irfan kurekam baik-baik. Dengan segala pertimbangan aku tidak bersegera mengirimkan kata setuju malam itu. Menurutku, akan lebih baik jika pesan itu kukirim esok pagi. Kusimpan kertas pesan Irfan baik-baik. Aku sempat membersihkan diri dan menyiapkan keperluan modul esok pagi sebelum membaringkan tubuh lelahku di kasur. Belum sempat mataku terpejam, telepon genggamku berdering. Nama “Andri Irfanda” tertera di layar, dan mataku serta merta terang benderang.

“Halo...asslamualaikum....”
“Halo, Andri.... maaf ya kutelepon malam-malam. Belum tidur kan?”
“Hampir.... ada apa?” 
“Sudah baca pesanku?”
“Sudah....”
“Oke, thx. Kok ngga balik kirim pesan?..”
“ Aku kuatir ngga sopan, sudah malam. Besok pagi saja.”
“Oooh....sori ya, aku ngga sabaran. Besok siang jam stirahat, berkenan sediakan waktu setengah jam buat ngobrol?”
“Setengah jam?....Pulsamu ngga habis tuh nanti?”
Suara tawa di ujung sana. Hatiku berbunga-bunga.
“Sudah ya Irfan, aku mau istirahat. Besok pagi takut kesiangan.”
“Oke, maaf ya.... sampai jumpa esok siang.”

Setelah mengucap salam, aku menutup percakapan. Segudang tanya di benakku. Di mana dia?... Akan bekerja apa dia selanjutnya?... Kenapa dia ingin berkenalan lebih jauh denganku?... Apakah perasaan berdesir di hatiku juga sama dia rasakan ya?.... Kuurungkan menanyakan itu semua tadi. Aku mengerem semua yang ingin kuketahui tentangnya. Aku memilih berdoa dan memejamkan mata. Untuk kali pertama dalam hidupku, aku tertidur dengan hati berbunga-bunga dan harapan yang bersemi di dalam mimpi................ 

*Pusdiklat: Pusat Pendidikan dan Pelatihan
**Diklat: Pendidikan dan Latihan

Depok, 6 Juni 2013.
**Cerita pendek ini ditulis sebagai selingan "switch" pikiran dari rutinitas sehari-hari.  Juga diposting tahun lalu di blog lama saya www.kompasiana.com/novi.ardiani yang berisi lebih beragam tulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...