Jumat, 08 Mei 2015

Tipe Ibu Berdasarkan “Me Time” Favorit




 Kesempatan melakukan sesuatu yang disukai ibu dalam suasana nyaman tanpa rengekan anak atau suami, office duty call, dan pekerjaan rumah tangga, meski hanya satu atau dua jam, diyakini dapat mengembalikan kesegaran dan semangat para ibu dalam mengemban tugas mulianya.  Me Time! Entah itu dilakukan sendiri, bersama teman atau sahabat, waktu bagi diri sendiri (me time) diyakini mampu memberikan energi baru bagi para ibu ketika kembali kepada rutinitasnya. 

Apa yang Anda lakukan saat “me time”?... Sekedar kumpul-kumpul dengan teman atau sahabat, membaca novel, mematikan ponsel lalu pergi ke tempat yang tenang sendirian, atau melakukan aktivitas yang sama sekali berbeda dari keseharian ?  Setiap ibu memiliki pilihan kegiatan favoritnya masing-masing untuk mengisi “me time”.  Berikut ini, jenis-jenis ibu berdasarkan pilihan me time favoritnya. Anda termasuk yang mana?...




1.      Ibu Petualang

Ibu jenis ini termasuk yang paling cihui soal me time. Dia betul-betul bertualang dan menikmati adrenalin rush dalam me time nya !  Bisa jadi ibu petualang akan pergi ke tempat-tempat yang jauh dan menantang sendirian! Atau bersama teman dan sahabat yang sejiwa. Naik gunung, menyelam, berselancar, atau bahkan panjat tebing.     Petualangan sang ibu dalam me time nya juga kadang diwujudkan dengan mengikuti seminar atau workshop yang unik dan jarang diminati orang umum terutama ibu-ibu.  Beberapa juga suka menjadi relawan dalam kegiatan sosial kemanusiaan, untuk melupakan sejenak rutinitas mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, sekaligus merasa bermanfaat bagi sesama. Ibu petualang cenderung melakukan sesuatu yang menantang dalam bentuk yang berbeda dengan tantangan keseharian, sekalipun tugas-tugas mereka sudah cukup menantang.  Dalam bentuk lain, ibu petualang suka mencoba hal-hal baru untuk me time nya, seperti mencoba pergi seharian dengan kendaraan umum sementara dalam keseharian mereka biasa menyetir sendiri.  Bagi ibu petualang, kenikmatan melakukan hal-hal baru dapat menciptakan semangat baru.

2.      Ibu Metropolis
Kalau Anda ibu pekerja kantoran  di kota besar, selalu didera kemacetan lalu lintas serta rutinitas pekerjaan yang melelahkan namun menjemukan, lalu pulang ke rumah masih digelayuti tugas domestik, nah.... barangkali inilah jenis Ibu Metropolis. Jenis ibu ini haus hiburan dan menyukai me time dengan hang out di kafe atau tempat hiburan alias meeting point yang dekat dengan kantor bersama teman atau sahabat.  Banyak juga Ibu Metropolis yang suka berkaraoke, untuk membebaskan diri sejenak dari stress.  Ibu Metropolis biasanya dandanannya keren, modis, dan segar.  Mau tau apa yang diobrolin ibu-ibu ini kalau lagi ngumpul? Ya seputar penampilan dan pernik perniknya. Mungkin mereka sesekali ngobrol soal anak atau keluarga, tapi kemudian topik tersebut akan cepat dilibas oleh jenis krim pelembab terbaru atau model sepatu yang sedang happening.


3.      Ibu Super Sibuk
Saking sibuknya, Ibu jenis ini suka menunda-nunda me time! Ibu jenis ini sering dikejar-kejar deadline yang tidak ada habisnya.  Sibuk abis. Tuntutan profesi.  Maka, Ibu Super Sibuk memilih hal-hal yang praktis dalam me time nya.  Kadang hanya dengan menikmati 1 jam kelas yoga, atau setengah jam mendengarkan musik favorit dengan earphone sambil bersenandung, bisa menjadi me time yang sangat berarti bagi Ibu Super Sibuk.  Ibu jenis ini akan sering memanfaatkan momen kontemplasi sebagai me time.  Berbeda dengan Ibu Metropolis yang suka me time dengan teman atau sahabat, Ibu Super Sibuk cenderung lebih suka me time benar benar sendirian dan menikmati kesendirian walau hanya sejenak.

4.      Ibu Posessif
Ibu Posesif punya kecenderungan rasa memiliki yang agak terlalu berlebihan terhadap keluarga (suami dan anak-anaknya). Selain ketakutan anak-anak akan menjadi kurang baik jika tidak dalam pengawasan ibu, ibu posesif sering tidak percaya -bahkan kepada suaminya sendiri-  bahwa ketika anak-anak tidak bersama ibu mereka akan baik-baik saja bersama ayahnya atau nenek kakeknya. Ibu jenis ini biasanya memilih kegiatan me time yang tidak jauh-jauh dari keluarganya. Paling-paling jalan ke mall dekat-dekat rumah, dan perginya pun tidak lama-lama. Pergi arisan di lingkungan kompleks rumah pun bisa menjadi me time yang seru buat ibu macam ini.  Sebelum pergi, Ibu Posessif selalu memastikan bahwa anak-anaknya akan baik-baik saja selama ditinggal, dengan menitipkan begitu banyak pesan yang harus dipatuhi.  Pokoknya rempong dah....  Sebagai kompensasi dari jarak yang dekat dalam bepergian untuk me time, kompensasinya sang ibu jenis ini jadi lebih sering frekuensi me time nya. Yang jelas, orang yang dititipi anaknya pasti bakal sering pusing oleh kerempongan ibu jenis ini ketika meninggalkan anak-anaknya untuk me time! Seringkali bahkan Ibu Posessif masih kebayang anaknya saat sedang me time... haduh posesisf banget yaaa.....



5.      Ibu Bonding
Ibu macam ini punya rasa keterikatan yang tinggi dengan suami dan anak-anaknya.  Namun, berbeda dengan Ibu Posessif, Ibu Bonding cenderung lebih realistis sehingga tidak sampai terlalu kuatir terhadap anak-anaknya jika harus kehilangan waktu kebersamaan.  Ibu Bonding selalu memikirkan cara-cara cerdas menjalin kebersamaan dan menjaga keterikatan dengan sang buah hati.  Bahkan saat sedang melakukan kegiatan me time- nya, Ibu Bonding masih sempat menyisakan sedikit ruang di otak dan hatinya untuk kepentingan bonding with her children.  Biasanya, pulang dari me time Ibu Bonding suka bawa oleh-oleh buat anak-anak atau suaminya.  Misalnya pergi ngemall atau belanja barang-barang unik.  Ibu Bonding cenderung memilih kegiatan me time yang aman sekaligus bisa sambil membelikan kejutan-kejutan buat keluarganya.    



6.      Ibu Realistis
Ibu jenis ini sangat sadar bahwa ketika kepalanya mulai cenut cenut, pikirannya tak lagi fokus, dan pekerjaannya cenderung kacau balau, berarti butuh me time!  Sesibuk apapun, Ibu Realistis akan mencari jeda waktu untuk menyingkir sejenak dari rutinitas dan pergi ke dunia nyaman untuk menikmati waktu bagi dirinya sendiri.  Duduk santai sambil menyeruput secangkir teh chamomile bisa menjadi pilihan cepatnya.  Ibu Realistis bisa melakukan kegiatan nyamannya di tengah keramaian dan hiruk pikuk sekitar. Ia yakin bahwa kebutuhannya tidak sama dengan orang lain, dan dia punya cara sendiri yang realistis untuk memenuhinya.  Ibu Realistis bahkan bisa melakukan me time bersama pasangannya, untuk sejenak melupakan urusan tetek bengek anak dan rumah tangga.  Ngobrol berdua dengan pasangan tentang hal-hal tak pernah terpikirkan sambil menikmati secangkir coklat panas bisa dilakukan Ibu Realistis untuk memupuk rasa nyaman. Setelah itu, Ibu akan kembali semangat dan lebih hidup. 

Sebenarnya, masih ada beberapa jenis Ibu lagi yang sempat terpikir di benak saya. Tapi, nanti tulisan ini akan jadi kepanjangan deh.  Jadi, kira-kira itulah jenis-jenis ibu berdasarkan pilihan favorit me time nya.  Tulisan ini saya buat berdasarkan pengamatan terhadap lingkungan sekitar belaka, tidak berdasarkan teori tertentu apalagi dalil-dalil psikologi. Bener-bener cuma nyalurin iseng aja. Karena daripada saya gatal-gatal karena tidak menulis, lebih baik disalurkan.  Sebagai penutup: harap maklum ya.... Piiis



**Juga dapat dibaca di www.kompasiana.com/novi.ardiani

Selasa, 05 Mei 2015

Harmoni Asfini

Rabu abu-abu. Subuh buta. Kelabu. Asfini tidak tahu harus senang atau sedih, melihat dua garis merah muda nyata pada kit testpack yang dipegangnya dengan tangan kiri. Positif. Dinding kamar mandi yang dingin seolah-olah menatap ibu satu anak itu, dan berkata ,” Selamat Asfini Ambar Wulandari.  Bagas akan punya adik.”

Asfini limbung sejenak.  Tubuhnya terasa seperti melayang beberapa detik.  Lemas.  Kepalanya serasa lepas dan berputar-putar di udara.  Asfini bersandar pada pintu kamar mandi dan berusaha untuk tak memejamkan mata. Berusaha tetap dalam kesadaran.

Berbagai peristiwa tiba-tiba berkelebatan dalam ingatannya.  Mulai dari susah payahnya ia mengikuti proses seleksi beasiswa Pemerintah Belgia. Waktu harus dibagi proporsional untuk tugas sebagai ibu, istri, dan pekerja kantoran di sebuah BUMN. Memastikan tumbuh kembang anak laki-laki semata wayangnya baik dan wajar selama dititip di daycare pada jam kerja.  Memastikan suaminya mendapatkan cukup kualitas perhatian dan dukungan seorang partner. Masa-masa sulit pergantian atasan yang berdampak pada beban kerjanya di kantor.  Hingga saat suka cita itu datang, pengumuman bahwa dirinya lulus beasiswa dan akan berangkat ke Belgia melanjutkan Master Degree untuk program studi Teknologi Pangan di Ghent Universiteit.

Asfini melupakan tujuh kali upayanya yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya untuk bisa memenangkan beasiswa ke Eropa, yang diimpikannya sejak lajang. Pepatah Jepang yang mengatakan “jika kau jatuh tujuh kali, bangkitlah untuk yang kedelapan kali” memacunya tetap persisten. Pantang menyerah.  Asfini yakin akan meraihnya pada saat yang tepat.  Mungkin pada kali yang kedelapan.

Kali ini ia berhasil, dengan pengorbanan belajar TOEFL setiap malam setelah menidurkan anak semata wayangnya Bagas Kusuma untuk meningkatkan nilai dan posisi saingnya.  Suaminya -Arifan- membiarkan Asfini selalu berkobar semangat. Ia tak pernah punya alasan untuk menghentikan gairah istrinya terus belajar, sebab tak pernah ia merasa Asfini menomorduakan tugasnya sebagai istri dan ibu.

Jika makanan kesukaannya selalu terhidang saat diinginkan, jika Asfini tak pernah menolak bercinta kapanpun dia inginkan, dan jika selalu dinikmatinya wajah Asfini yang merona merah bersemangat, bagaimana Arifan sanggup menghentikan kobar semangat itu? Jika Bagas Kusuma tetap mendapatkan hak ASInya hingga dua tahun sekaligus gemilangnya prestasi Asfini di kantor, bagaimana Arifan sanggup menghentikan pacu langkah seorang Asfini yang dicintainya?
Semua wajah suka cita telah menyambut prestasi Asfini memenangkan beasiswa bergengsi itu. Manajemen kantor tempatnya bekerja dengan tangan terbuka menerbitkan surat tugas belajar untuknya, yang artinya ia tetap digaji selama meninggalkan kantor untuk kuliah, walau harus melepaskan jabatan.

Arifan dengan sepenuh hati akan mengurus pengunduran diri dari kantornya dan bersedia menyusul untuk mendampingi Asfini pada semester kedua merangkap pengasuh full timebagi anak semata wayang mereka.  “Aku bisa dengan mudah mencari pekerjaan baru setelah kamu selesai program master.  Tapi kesempatanmu mungkin hanya sekarang, Sayang,” tutur Arifan ketika Asfini sempat meragukan keikhlasan suaminya.  Arifan tahu, usia 35 tahun adalah batas akhir persyaratan pengajuan beasiswa master untuk profesional dalam hal ini. Kesempatan Asfini hanya saat ini.
Namun suka cita itu kini mungkin harus berganti.  Berganti dengan tambahan suka cita, atau berganti dengan lara, Asfini masih tak tahu.  Kalau ia tiba-tiba teringat sudah lebih dua bulan tidak haid, dan pihak Kedutaan mensyaratkan keberangkatan tidak dalam kedaan hamil, perasaan Asfini jadi mulai tak enak.  Maka ketika Subuh ini sebelum pengurusan visa belajar dilakukannya di Kedutaan, disadarinya ia dalam keadaan hamil, ia masih tak tahu apakah harus meneteskan air mata karena senang atau sedih.

Senang, harusnya…..karena Bagas akan dapat adik! Tapi, sedih juga menelisik hatinya.  Sebab, hamil artinya diskualifikasi penerimaan beasiswa. Batal berangkat. Pihak Kedutaan mensyaratkan kehamilan dan keikutsertaan keluarga baru diizinkan setelah satu semester berjalan dan penerima beasiswa dipastikan menyerahkan transkrip nilai yang memuaskan.
Asfini masih menggenggam kit testpack nya dengan tangan gemetar.  Tubuhnya makin lunglai. Dan entah kenapa ia tiba-tiba hanya merasakan dingin dan gelap.

                                                                      ………………………….

“Mama…..,” gumam bocah kecil laki-laki terdengar amat dekat di telinga Asfini.  Itu suara yang sangat dikenalnya.  Bagas.  Suara itu yang memanggilnya bangun dari pingsan di kamar mandi subuh tadi.  Asfini meraba kepalanya yang terasa berat.  Sepasang lengan kokoh milik Arifan menopangnya segera, saat hendak diangkatnya perlahan kepala yang pening itu.

“Pelan-pelan Fini…kamu habis jatuh di kamar mandi. Kepalamu ada yang terasa sakit?” suara suaminya berbisik di telinga Asfini yang berdenging. Asfini menggeleng.  Ia yakin kepalanya tidak sakit, hanya pening karena pikiran, bukan terbentur.  Dilihatnya sekeliling.  Ia terbaring di tempat tidur Bagas. Rupanya, Arifan segera membaringknnya di sini setelah menyadari istrinya terjatuh di kamar mandi.  Kamar Bagas lebih dekat ke kamar mandi.

“Mama…” lagi Bagas memanggil ibunya.  Bocah dua setengah tahun itu mendekatkan kepalanya ke dada ibunya.  Asfini merengkuhkan tangan membentuk rangkulan lembut dan mengelus-elus putranya. Sang suami memandanginya sabar, menunggu Asfini hendak mengatakan apa.

“Mas, aku gagal lagi…”, Asfini akhirnya bergumam sedih.  Kecewa. Teringat jerih payahnya bertahun-tahun untuk memenangkan beasiswa harus kandas di garis akhir kesempatan terakhir karena….HAMIL.
“Sssssst……” Arifan mendekatkan telunjuk ke bibir istrinya. “Jangan dilanjutkan. Kamu tidak gagal. Tuhan merencanakan sesuatu yang lebih baik,” bisiknya.  Arifan segera paham maksud sang istri, sejak ditemuinya Asfini terjatuh pingsan di kamar mandi dengan kittestpack yang berserakan di lantai, Arfan segera paham atas kekecewaan istrinya.
“Mas, aku tidak bisa berangkat, pasti ketahuan di test urine esok. Dan juga tidak akan bisa berangkat tahun depan….. atau tahun tahun berikutnya…… “ Asfini berbisik semakin lirih. Dan tangisnya pecah.  “Mama… mama……..” si kecil Bagas mulai merengek melihat ibunya pilu.  Arifan memeluk istri dan anaknya.  Sambil mendekatkan bibir ke telinga istrinya, Arifan berbisik,” Bagas akan punya adik. Itu hadiah Tuhan yang megah.  Kumohon, terimalah …. ya?”
Asfini menangis sesenggukan.  Tuhan, apa salahku….Engkau yang membuatku percaya bisa sampai di garis finish.  Kenapa dengan cara ini Engkau katakan “TIDAK KUIZINKAN”?  Air mata Asfini berderai-derai bersama sejuta tanda tanya yang dimiliki seorang perempuan biasa.

……………………………

Direktur SDM sedang memandang Asfini dengan sebaris tanda tanya.  Kerut di wajahnya.
“Saya hamil, Pak.  Baru tahu tadi pagi,” tutur Asfini singkat.
“Lho, bagaimana….. Anda ini kerajinan sih. Lalu? Peraturannya tidak boleh berangkat, toh? ” tanya Pak Untung.
“Iya, Pak.”  Suara Asfini pelan dan pilu.
“Lantas bagaimana, Anda masih mau sekolah?  Kalau masih mau, silakan yang dalam negeri saja. Mana yang masih buka pendaftaran? UI dan ITB masih kan? Sanggup kuliah di UI atau ITB sembari hamil dan melahirkan ya?” tanya Pak Untung.  ” Empat semester,” tambahnya tegas.
Asfini diam.  Ia belum sampai pada pikiran akan mengalihkan kesempatan kuliah ke dalam negeri.  Magister dalam negeri tidak pernah menarik hatinya.  Kalau mau, sejak dulu saja.  Sampai detik itu Asfini masih dalam posisi tidak terima bahwa ia batal berangkat karena hamil.

”Bagaimana? Anda pikirkanlah baik-baik.  Surat tugas belajar Anda sudah disetujui.  Batal berangkat ke Belgia, Anda masih bisa kuliah di Indonesia saja. Ya?“  Pak Untung memberi kode bagi Asfini untuk keluar dari ruangannya.  Asfini bangkit dari duduk dengan hati kelu. Bersama langkah yang kehilangan harapan ia kembali ke meja kerja dan tidak berhasil memperbaiki mood seharian.

Menjelang Maghrib saat menjemput Bagas dari daycare sepulang kantor, Asfini mulai memikirkan tawaran Pak Untung. Rasanya, tak kan sulit ujian masuk di universitas negeri di manapun baginya.  Rasanya, ia mampu.  Begitu yakin ia akan kapabilitasnya setelah memenangkan beasiswa bergengsi itu.  Tapi, akankah diterimanya tawaran itu? Apa pendapat suaminya?…. Asfini menggandeng Bagas keluar halaman daycare sambil mengelus-elus perutnya. Aaah, ada calon jabang bayi di sana.
Rintik dalam adzan maghrib sendu menemani Asfini hingga Arifan menghampiri dengan sedan tua yang mereka beli dari bertahun-tahun menabung. Keluarga kecil itu pulang ke rumah bersama-sama.

Diam-diam Asfini merasakan ketenangan berada diantara suami dan anaknya. Kembali diusapnya perut yang rata. Air mata menitik satu-satu, antara bahagia dan berusaha ikhlas….bahwa bulan bulan ke depan perutnya akan kembali membesar seperti beberapa tahun lalu.  Bahwa impian kuliah di Eropa dengan beasiswa harus dialihkan dengan kuliah di universitas dalam negeri yang masih buka pendaftaran saat ini…..  Asfini meresapi adzan maghrib dan merasa ingin segera bermesraan dengan Sang Khalik.
………………….

“UI dan ITB masih buka, Fin.  Daftar lah. Pilih mana kamu suka.  Kalau di ITB, aku kuatir kandunganmu saat besar nanti kalau harus bolak balik Jakarta-Bandung.    Kalau aku boleh saran, UI saja.  Bisa tetap dekat denganku dan Bagas,”  tutur Arifan saat Asfini mengungkapkan saran Pak Untung.
Asfini diam.

“Kenapa, Fin? ….Tidak berminat?….
Asfini masih diam.
“Kalau tidak pun, tidak apa.”  Arifan bertutur datar.  Ia paham betul betapa dalam kecewa itu.  Rasanya, kalau ia jadi Asfini, mungkin ia akan seperti itu juga.  Ia tahu bagaimana susah payahnya Asfini berjuang untuk sebuah prestasi. Dengan tetap tidak melupakan kewajiban utamanya sebagai seorang ibu dan istri.  Ia bisa merasakan semua itu saat menyentuh tubuh Asfini yang kelu dan diam.

Dalam hati Arifan berbisik, istrinya hanya butuh waktu.  Sedikit waktu saja untuk mengembalikan harmoni dalam ritme hidupnya.  Dibiarkannya istrinya sendiri. Diambilnya Bagas dan malam itu ia berbisik pada anaknya,” Bagas, papa yang kelonin yuk. Mama sedang ada yang harus dikerjakan.”

…………………..

Sepertiga malam datang menjemput Asfini untuk terjaga.  Seperti malam-malam sebelumnya, ia bangun untuk yang dua rakaat itu.  Namun kali ini Asfini tak ingin segera menyudahi kencannya dengan Ilahi.  Ia masih ingin mendapat jawaban kenapa Rabb yang Maha Pengasih tidak membiarkannya berangkat meraih cita-cita….. Kenapa…..

“Karena Dia begitu sayang kepadamu, Asfini Ambar Wulandari. Dia memilihkan semua yang terbaik untukmu,” bisik suara hatinya yang terdalam. Jernih terdengar di malam senyap.
Suara itu tidak berhenti di situ. “Tuhan Yang Pengasih memberikan sebuah kepercayaan besar padamu untuk kembali mengandung seorang bayi. Berapa banyak perempuan yang mendambakan itu namun belum diberi oleh Tuhan? Kamu akan memeliharanya seperti Bagas dulu.  Merasakan gerakannya dalam rahimmu hingga menghentak keluar seolah bayi itu berkata,”aku hidup, ma”. Kamu akan menyusuinya setelah ia lahir nanti.  Membesarkannya menjadi anak yang berbakti.  Kamu diberi kepercayaan untuk itu.  Untuk menjadi ibu. Pantaskah kamu mempertanyakan itu kepada Tuhanmu?”
Asfini mendengarkan suara hatinya dengan terpekur dalam sepertiga malam yang sunyi.  Pipinya telah basah oleh derai bening.  Tapi hatinya masih kering.  Ikhlas itu tidak datang dengan mudah.

……………………….

“Selamat, Ibu Asfini.  Semoga sukses!” , dosen yang usianya 3 tahun lebih muda darinya, namun telah menyandang gelar Doktor dan menguji tesisnya dalam sidang terbuka di kampus kuning, menyalaminya diiringi senyum.

Ruang sidang Pascasarjana FEUI Depok yang tegang telah berubah menjadi suka cita.  Tepat empat  semester Asfini menyelesaikan studi magisternya.  Usia Padmaningrum, adik Bagas belum genap dua tahun.  Bayi perempuan lucu yang selalu menemaninya sejak dalam kandungan untuk pergi kuliah ke kampus, Menemaninya mengerjakan tugas kuliah hingga tesisnya.  Bayi sehat yang tidak pernah lepas dari dadanya untuk meminta kehangatan dan air kehidupan.  Bayi yang menyadarkan Asfini akan artinya kemuliaan menyandang gelar ibu.  Lebih dari gelar akademik manapun yang mampu ia raih.

Dua tahun, waktu yang cukup bagi Asfini sebagai seorang ibu, untuk menemukan sendiri jawaban, kenapa Tuhan tidak membiarkannya kuliah ke Belgia.  Tuhan memberinya kesempatan dan anugerah, menguji kesanggupannya sebagai ibu yang kokoh.  Kini, telah diselesaikannya tugas belajar tepat waktu.  Empat semester.  Kembali bekerja dengan kesempatan dan tantangan baru.  Bonus seorang bayi perempuan yang sehat dan lucu.  Asfini selalu berderai air mata setiap mengingat betapa ia tak sanggup menghitung nikmat Tuhan.

Kini Asfini bisa berujar, “Tuhan, kini aku paham….menjadi ibu bukanlah sekedar melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak.  Tapi lebih dari itu.  Ibu adalah pilar kokoh bagi anak-anak.  Ibu adalah jiwa dan nafas Tuhan yang disalurkan kepada anak-anak.  Aku yakin, aku bisa menjadi pendidik anak-anakku dengan sikap dan perilakuku.  Karena aku tahu pelajaran dan hikmah hidupku telah mengajariku untuk ikhlas menjadi ibu.”

Asfini mengerling dan tersenyum. Paham sebagai ibu ia tetap harus berjuang untuk prestasi.  Paham bahwa daya juangnya harus ia wariskan pada anak-anaknya. Semakin paham bahwa Tuhan punya rencana terbaik bagi hambanya yang kafah. Dan Ilahi menciptakan harmoni dalam ritme hidup Asfini.


Depok, April 2014

#ANDAI ANDARINI#




Segitiga itu membentuk di samudera hati Herwinto - Andarini - Arisetyo, tanpa masing-masing memahami bentuk sesungguhnya.

Cerpen yang ditulis dua tahun lalu, dan pernah saya posting di www.kompasiana.com/novi.ardiani




#Herwinto#

Andai Andarini tidak pernah datang ke dalam kehidupanku, mungkin malam ini dan malam-malam esok hari aku akan cukup tidur. Bukan malah menjadi malam yang sama sekali tanpa sopan santun. Tapi, Andarini terlanjur masuk ke sini, ke duniaku yang sudah nyaris sempurna. Kedatangan perempuan itu justru membuatku melihat sisi lain kesederhanaan yang sangat berbeda. Andarini mengalihkanku dari rasa akan kecukupan dan kemapanan.Ia membaurkan perasaan indah dan kesahajaan jiwa ke dalam hari-hariku. Saat berinteraksi dengannya, aku merasa sangat bodoh sekaligus pintar. Bodoh karena dengan mudah bisa terjatuh ke pangkuannya yang hangat dan intim. Pintar, karena akupun merasa membodohinya dengan segudang kharisma laki-laki yang kumiliki. Andai kukenal Andarini belasan tahun lalu….. Dan sayangnya mesin ajaib untuk memutar waktu ke belakang tak pernah dipinjamkan kepadaku. Andarini tetap menjadi bagian kehidupan nyataku saat ini, yang seperti mimpi-mimpi indah, enggan aku hindari. Perempuan sederhana itu membuat hidupku jadi sedemikian pelik. Sangat pelik, karena aku ayah tiga anak dari istri yang telah kunikahi 10 tahun silam.


#Andarini#

Andai aku bukan seorang Andarini, mungkin aku tak pernah membuat hidupnya yang sederhana jadi pelik. Ia cukup bahagia dengan istri dan anak-anaknya….tentu saja. Itu cukup bisa dilihat dari foto keluarga yang terpajang di meja kerjanya. Hidupnya sempurna. Tidak ada cela sedikitpun yang kulihat dari kehidupannya berumah tangga. Bertahun-tahun mengenalnya sebagai orang berpengaruh di kantor ini, sekalipun tidak pernah terbersit dalam benakku kami bisa menjadi dekat seperti sekarang ini. Kedekatan yang keterlaluan dekatnya dan tidak seharusnya, karena aku telah menerima pinangan Arisetyo sebelum kedekatan dengannya terjalin. Empat bulan dari sekarang, lajangku akan berakhir. Tapi, aku terlanjur merasakan bahunya yang kokoh dan kuat, dadanya yang tenang dengan degup yang teratur, menaungiku setiap kali aku membutuhkan apa yang aku definisikan sebagai “perwujudan sayang”. Pfuiihhfh……aku tahu semua ini akan berakhir menyakitkan.Tapi aku sungguh-sungguh tak sanggup menafikan.


#Arisetyo#

Andai Andarini tidak menerima pinanganku empat bulan lalu, aku tahu itu sesuatu yang wajar. Dan saat ia katakan YA, itulah keajaiban buatku. Merebut hatinya sungguh tak mudah. Hanya saja mungkin aku datang pada saat yang tepat. Kami berjodoh. Jarak ribuan kilometer yang merentang antara kami saat ini, bukan halangan untuk disatukan oleh yang disebut orang “cinta”. Oh ya?… Ia mungkin nampak sederhana dan tanpa syarat. Itu justru yang membuatnya tampak mempesona buatku. Dan aku telah memenangkan hatinya. Perduli setan dengan banyak lelaki di sekelilingnya yang pasti juga mengagumi kepribadian Andarini. Aku telah dipilihnya.


#Herwinto#

Setelah delapan kali makan siang bersama yang dihimpit rasa bersalah masing-masing dari kami, setelah enam kali diantaranya bukan makan siang biasa melainkan ditambah kedekatan fisik dan emosi, setelah itu bukan semakin sadar kami akan kesalahan yang telah kami perbuat. Tepatnya aku. Dia mungkin telah berusaha untuk menjauhiku. Tapi aku tak membiarkannya begitu. Aku menginginkannya. Nyatanya kami semakin dekat. Andarini telah menjadi magnet terkuat saat ini untukku. Katakan apakah aku benar-benar jatuh cinta padanya?…. setelah hampir tiga tahun bekerja di gedung yang sama, perusahaan yang sama, tak saling bertegur sapa selama bertahun-tahun…..saling menoleh pun tidak.
Tanyakan pada gedung pencakar langit ini kenapa bisa-bisanya tiga bulan yang lalu tiba-tiba saja aku tertarik dengan gadis 27 tahun yang sederhana dan tanpa polesan make up itu? Saat dia dengan sabar meladeni semua kebutuhan dokumen keuangan yang kubutuhkan, dari A sampai Z, meskipun aku tahu saat yang sama ia mengerjakan sejumlah tugas yang tidak sedikit dari atasannya yang sedang cuti, dalam tenggat yang sempit.Gadis itu tidak cemberut sedikitpun. Wajah sahajanya tulus dan senyumnya tidak dibuat-buat. Kerjanya cekatan. Bicaranya sopan dan lembut. Luluh lantak hatiku dibuatnya. Saat ia menyerahkan semua dokumen yang kubutuhkan ia tersenyum dan berkata,”Silakan Pak.Mohon diperiksa. Jika ada yang luput, jangan sungkan hubungi ya Pak.” Ketika mengucapkan itu, dan menatapnya dari dekat, baru kusadari gadis itu bukan tanpa polesan make up. Bibirnya disapu lipstik warna merah muda yang nyaris seperti warna asli bibirnya.Kelopak matanya dibayangi eyeshadow kecoklatan yang nyaris tak kentara. Riasan tipis itu membuatnya nampak segar, walau awalnya kukira ia tidak memoles wajah. Ahaaa…. apa pentingnya semua itu buatku?… Entahlah, aku tidak paham betul. Aku hanya paham satu hal, aku terpikat Andarini.


#Andarini#

Sejak mengenalnya dari dekat tiga bulan yang lalu, aku baru menyadari bahwa aku terpikat padanya. Laki-laki itu tampak sangat dewasa dan matang. Tentunya….. Dia 11 tahun lebih tua dari usiaku. Telah beristri, beranak tiga. Dia tahu bagaimana membuat perempuan merasa nyaman. Tiga tahun bersama-sama di perusahaan yang sama, namun pada kasta yang berbeda membuatku hampir tidak pernah berani menoleh kepadanya. Aku tak pernah berhubungan langsung dengannya, kecuali saat itu….tiga bulan yang lalu ketika ia datang sendiri ke kubikku saat jam sibuk. Pastinya sangat penting….sampai ia mau duduk di sampingku nyaris satu jam untuk menungguku mengumpulkan semua dokumen keuangan yang dibutuhkannya, dengan seizin atasan langsungku yang kebetulan sedang cuti melahirkan. Aku melihatnya dari dekat, setelah selama ini aku tak pernah berani menoleh. Pun ketika setiap pagi ia turun dari mobil yang diparkirnya di halaman parkir kantor.Sementara aku didrop Mang Pupun tukang ojek langgananku dari rumah kontrakan yang hanya 2 km dari kantor. Tepat di depan hidungnya. Kami tidak pernah saling bertegur sapa. Kelas kami berbeda beberapa tingkat. Tapi sejak kedatangannya ke kubikku tiga bulan lalu, perbedaan kasta, kelas, atau apapun itu namanya ….tidak ada lagi. Lebur sudah. Siang itu aku bersedia menyebutkan nomor telepon genggamku untuknya. Dan sepekan berikutnya aku sudah berani menerima ajakan makan siang bersama. Jangan katakan berani, aku selalu dihantui rasa takut….tapi aku tak sanggup untuk berpaling dari pesonanya.


#Arisetyo#

Aku tidak suka melihat gadisku menangis. Kami hanya bertemu sekali sebulan. Kenapa aku harus melihatnya dengan air mata berurai?… Andai Andarini tahu betapa sulitnya berjauhan dengan seseorang yang akan menjadi istriku empat bulan ke depan. Ya dia tahu. Dia sangat tahu.


#Herwinto#

Aku tahu Andarini akan menikah sejak makan siang pertama kami. Bahkan itu tak membuatku mundur untuk terus mendekatinya. Satu kali bercakap-cakap dengannya saat makan siang, sudah cukup membuatku semakin dalam terpikat gadis sahaja itu. Gadis pintar yang sederhana. Lembut dan menyenangkan. Smart. Ia memukau. Gerak geriknya yang nyaris tanpa gamang, sangat cekatan dan rapi. Di tengah tekanan beban pekerjaan yang membuat kepalaku berat, Andarini membuat hidupku jadi ringan dan melayang. Ia tak menolak setiap kali kuajak makan siang. Ia tak nampak terlalu senang atau mengharap, tapi kurasakan ia pun menikmati saat-saat bersamaku. Aku tahu itu. Walau ia selalu dengan sopan menggeser duduknya setiap kali aku bergerak lebih mendekat, itu hanya untuk dua kali pertemuan saja. Selanjutnya, aku tahu ia membutuhkan figurku. Aku tahu dan merasakannya. Sekaligus aku merasakan pertentangan bathinnya untuk menjauh dariku.


#Andarini#

Tuhan, ampuni aku. Aku sudah terlalu dekat dengannya. Aku telah melakukan banyak hal menyenangkan dengannya dalam hitungan bulan. Menyenangkan?…. walaupun saat aku tak menolak rebah di dadanya, sempat terbayang wajah istri dan anak-anaknya seperti yang sering kulihat di foto keluarga di atas meja kerjanya. Saat nafas kami mebaur karena terlalu dekat, bayangan Arisetyo hadir belakangan. Membuatku tidak mampu menahan air mata yang berlinangan. Tuhan, aku perempuan yang tidak setia…. pun ketika perikatan itu belum sepenuhnya kujalani. Aku ingin menghindari semua ini…..tetapi kenapa aku selalu mengangguk dan berkata “YA” untuk semua ajakannya?…. Herwinto adalah kehangatan yang enggan kutinggalkan bahkan ketika hati ini tak lagi membeku. Andai aku tak pernah mengenalnya….. atau….andai aku mengenalnya pada waktu yang tepat…… Ini salah… dan kesalahan ini semakin membebani pikiranku. Hari demi hari berlalu. Aku semakin tak bisa keluar dari dekapannya yang hangat dan memabukkan. Dua bulan lagi, aku akan menjadi istri Arisetyo. Arisetyo yang tidak pernah sekalipun menyentuh tubuhku. Aku penat dan tak tau harus bagaimana.


#Arisetyo#

Aku tidak mengetahui alasan pasti kenapa Andarini ngotot akan resign dari kantor tempatnya bekerja. Sejauh ini, aku sama sekali tidak pernah meminta agar dia tinggal di rumah saja setelah menikah…. Sebab tahun depan masa tugasku di Makassar akan berakhir dan aku akan kembali ke kantor pusat di Jakarta. Aku tak keberatan Andarini tetap bekerja setelah kami menikah. Dia tau itu. Tetapi, kalaupun dia tak ingin bekerja, aku pun tak kan melarang. Andarini tetap pada keputusannya untuk resign dari kantornya mulai bulan depan, sebulan sebelum pernikahan kami. Tentu saja aku merasa semakin bersemangat karena setelah menikah gadisku akan mendampingiku di Makassar.


#Herwinto#

Aku laki-laki dewasa yang kuat dan punya kekuasaan, harus lunglai karena seorang gadis bernama Andarini. Ia menghilang. Kemana dia pergi?… Tidak sebuah pesanpun ia tinggalkan. Andarini pergi begitu saja. Jejaknya lenyap ditelan kebingunganku. Rahasia rapat hubungan kedekatan kami berdua yang tak ingin terendus oleh seisi kantor, membuatku menahan diri untuk bertanya dan bertanya. Sampai akhirnya aku sadar aku tak pantas mencari gadis itu. Sejak awal ia berusaha menjauh, aku yang membuatnya ragu melakukannya. Aku yang menariknya mendekat. Kalau sekarang dia menghilang, pastilah dia melakukannya dengan akal sehat. Akulah yang kehilangan logika. Aku terduduk lunglai, anganku mencecapi bibir merekahnya dalam mimpi….


#Andarini#

Pesawat terbang ini akan membawa mimpiku terbang tinggi dan jadi kenyataan.Penerbangan ke Makassar bersama laki-laki yang telah menjadi suamiku – Arisetyo, terasa melambungkan semua harapanku yang nyaris pupus. Aku yakin hanya butuh keberanian untuk keluar dari perselingkuhan yang semanis apapun akan berakhir menyakitkan….. Aku percaya waktu yang akan membuatku melupakan degup teratur dari jantungnya yang pernah sangat dekat. Aku berhak memilih kehidupan yang layak untukku…..lepas dari apa yang disebut cinta atau nafsu.


#Arisetyo#

Tuhan, ijinkan aku menjadi satu-satunya tempat Andarini merebahkan segala gundah….segala rasa….. Kumohon berikan aku kesempatan untuk menjadi ksatria di hatinya, di hidupnya, mulai saat ini sampai Engkau pisahkan kami oleh maut.


#Herwinto#

Andai Andarini pergi lebih cepat atau lebih lambat, semua akan sama terasa sakitnya……….


Depok, 5 Juni 2013





Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...