Selasa, 05 Mei 2015

Harmoni Asfini

Rabu abu-abu. Subuh buta. Kelabu. Asfini tidak tahu harus senang atau sedih, melihat dua garis merah muda nyata pada kit testpack yang dipegangnya dengan tangan kiri. Positif. Dinding kamar mandi yang dingin seolah-olah menatap ibu satu anak itu, dan berkata ,” Selamat Asfini Ambar Wulandari.  Bagas akan punya adik.”

Asfini limbung sejenak.  Tubuhnya terasa seperti melayang beberapa detik.  Lemas.  Kepalanya serasa lepas dan berputar-putar di udara.  Asfini bersandar pada pintu kamar mandi dan berusaha untuk tak memejamkan mata. Berusaha tetap dalam kesadaran.

Berbagai peristiwa tiba-tiba berkelebatan dalam ingatannya.  Mulai dari susah payahnya ia mengikuti proses seleksi beasiswa Pemerintah Belgia. Waktu harus dibagi proporsional untuk tugas sebagai ibu, istri, dan pekerja kantoran di sebuah BUMN. Memastikan tumbuh kembang anak laki-laki semata wayangnya baik dan wajar selama dititip di daycare pada jam kerja.  Memastikan suaminya mendapatkan cukup kualitas perhatian dan dukungan seorang partner. Masa-masa sulit pergantian atasan yang berdampak pada beban kerjanya di kantor.  Hingga saat suka cita itu datang, pengumuman bahwa dirinya lulus beasiswa dan akan berangkat ke Belgia melanjutkan Master Degree untuk program studi Teknologi Pangan di Ghent Universiteit.

Asfini melupakan tujuh kali upayanya yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya untuk bisa memenangkan beasiswa ke Eropa, yang diimpikannya sejak lajang. Pepatah Jepang yang mengatakan “jika kau jatuh tujuh kali, bangkitlah untuk yang kedelapan kali” memacunya tetap persisten. Pantang menyerah.  Asfini yakin akan meraihnya pada saat yang tepat.  Mungkin pada kali yang kedelapan.

Kali ini ia berhasil, dengan pengorbanan belajar TOEFL setiap malam setelah menidurkan anak semata wayangnya Bagas Kusuma untuk meningkatkan nilai dan posisi saingnya.  Suaminya -Arifan- membiarkan Asfini selalu berkobar semangat. Ia tak pernah punya alasan untuk menghentikan gairah istrinya terus belajar, sebab tak pernah ia merasa Asfini menomorduakan tugasnya sebagai istri dan ibu.

Jika makanan kesukaannya selalu terhidang saat diinginkan, jika Asfini tak pernah menolak bercinta kapanpun dia inginkan, dan jika selalu dinikmatinya wajah Asfini yang merona merah bersemangat, bagaimana Arifan sanggup menghentikan kobar semangat itu? Jika Bagas Kusuma tetap mendapatkan hak ASInya hingga dua tahun sekaligus gemilangnya prestasi Asfini di kantor, bagaimana Arifan sanggup menghentikan pacu langkah seorang Asfini yang dicintainya?
Semua wajah suka cita telah menyambut prestasi Asfini memenangkan beasiswa bergengsi itu. Manajemen kantor tempatnya bekerja dengan tangan terbuka menerbitkan surat tugas belajar untuknya, yang artinya ia tetap digaji selama meninggalkan kantor untuk kuliah, walau harus melepaskan jabatan.

Arifan dengan sepenuh hati akan mengurus pengunduran diri dari kantornya dan bersedia menyusul untuk mendampingi Asfini pada semester kedua merangkap pengasuh full timebagi anak semata wayang mereka.  “Aku bisa dengan mudah mencari pekerjaan baru setelah kamu selesai program master.  Tapi kesempatanmu mungkin hanya sekarang, Sayang,” tutur Arifan ketika Asfini sempat meragukan keikhlasan suaminya.  Arifan tahu, usia 35 tahun adalah batas akhir persyaratan pengajuan beasiswa master untuk profesional dalam hal ini. Kesempatan Asfini hanya saat ini.
Namun suka cita itu kini mungkin harus berganti.  Berganti dengan tambahan suka cita, atau berganti dengan lara, Asfini masih tak tahu.  Kalau ia tiba-tiba teringat sudah lebih dua bulan tidak haid, dan pihak Kedutaan mensyaratkan keberangkatan tidak dalam kedaan hamil, perasaan Asfini jadi mulai tak enak.  Maka ketika Subuh ini sebelum pengurusan visa belajar dilakukannya di Kedutaan, disadarinya ia dalam keadaan hamil, ia masih tak tahu apakah harus meneteskan air mata karena senang atau sedih.

Senang, harusnya…..karena Bagas akan dapat adik! Tapi, sedih juga menelisik hatinya.  Sebab, hamil artinya diskualifikasi penerimaan beasiswa. Batal berangkat. Pihak Kedutaan mensyaratkan kehamilan dan keikutsertaan keluarga baru diizinkan setelah satu semester berjalan dan penerima beasiswa dipastikan menyerahkan transkrip nilai yang memuaskan.
Asfini masih menggenggam kit testpack nya dengan tangan gemetar.  Tubuhnya makin lunglai. Dan entah kenapa ia tiba-tiba hanya merasakan dingin dan gelap.

                                                                      ………………………….

“Mama…..,” gumam bocah kecil laki-laki terdengar amat dekat di telinga Asfini.  Itu suara yang sangat dikenalnya.  Bagas.  Suara itu yang memanggilnya bangun dari pingsan di kamar mandi subuh tadi.  Asfini meraba kepalanya yang terasa berat.  Sepasang lengan kokoh milik Arifan menopangnya segera, saat hendak diangkatnya perlahan kepala yang pening itu.

“Pelan-pelan Fini…kamu habis jatuh di kamar mandi. Kepalamu ada yang terasa sakit?” suara suaminya berbisik di telinga Asfini yang berdenging. Asfini menggeleng.  Ia yakin kepalanya tidak sakit, hanya pening karena pikiran, bukan terbentur.  Dilihatnya sekeliling.  Ia terbaring di tempat tidur Bagas. Rupanya, Arifan segera membaringknnya di sini setelah menyadari istrinya terjatuh di kamar mandi.  Kamar Bagas lebih dekat ke kamar mandi.

“Mama…” lagi Bagas memanggil ibunya.  Bocah dua setengah tahun itu mendekatkan kepalanya ke dada ibunya.  Asfini merengkuhkan tangan membentuk rangkulan lembut dan mengelus-elus putranya. Sang suami memandanginya sabar, menunggu Asfini hendak mengatakan apa.

“Mas, aku gagal lagi…”, Asfini akhirnya bergumam sedih.  Kecewa. Teringat jerih payahnya bertahun-tahun untuk memenangkan beasiswa harus kandas di garis akhir kesempatan terakhir karena….HAMIL.
“Sssssst……” Arifan mendekatkan telunjuk ke bibir istrinya. “Jangan dilanjutkan. Kamu tidak gagal. Tuhan merencanakan sesuatu yang lebih baik,” bisiknya.  Arifan segera paham maksud sang istri, sejak ditemuinya Asfini terjatuh pingsan di kamar mandi dengan kittestpack yang berserakan di lantai, Arfan segera paham atas kekecewaan istrinya.
“Mas, aku tidak bisa berangkat, pasti ketahuan di test urine esok. Dan juga tidak akan bisa berangkat tahun depan….. atau tahun tahun berikutnya…… “ Asfini berbisik semakin lirih. Dan tangisnya pecah.  “Mama… mama……..” si kecil Bagas mulai merengek melihat ibunya pilu.  Arifan memeluk istri dan anaknya.  Sambil mendekatkan bibir ke telinga istrinya, Arifan berbisik,” Bagas akan punya adik. Itu hadiah Tuhan yang megah.  Kumohon, terimalah …. ya?”
Asfini menangis sesenggukan.  Tuhan, apa salahku….Engkau yang membuatku percaya bisa sampai di garis finish.  Kenapa dengan cara ini Engkau katakan “TIDAK KUIZINKAN”?  Air mata Asfini berderai-derai bersama sejuta tanda tanya yang dimiliki seorang perempuan biasa.

……………………………

Direktur SDM sedang memandang Asfini dengan sebaris tanda tanya.  Kerut di wajahnya.
“Saya hamil, Pak.  Baru tahu tadi pagi,” tutur Asfini singkat.
“Lho, bagaimana….. Anda ini kerajinan sih. Lalu? Peraturannya tidak boleh berangkat, toh? ” tanya Pak Untung.
“Iya, Pak.”  Suara Asfini pelan dan pilu.
“Lantas bagaimana, Anda masih mau sekolah?  Kalau masih mau, silakan yang dalam negeri saja. Mana yang masih buka pendaftaran? UI dan ITB masih kan? Sanggup kuliah di UI atau ITB sembari hamil dan melahirkan ya?” tanya Pak Untung.  ” Empat semester,” tambahnya tegas.
Asfini diam.  Ia belum sampai pada pikiran akan mengalihkan kesempatan kuliah ke dalam negeri.  Magister dalam negeri tidak pernah menarik hatinya.  Kalau mau, sejak dulu saja.  Sampai detik itu Asfini masih dalam posisi tidak terima bahwa ia batal berangkat karena hamil.

”Bagaimana? Anda pikirkanlah baik-baik.  Surat tugas belajar Anda sudah disetujui.  Batal berangkat ke Belgia, Anda masih bisa kuliah di Indonesia saja. Ya?“  Pak Untung memberi kode bagi Asfini untuk keluar dari ruangannya.  Asfini bangkit dari duduk dengan hati kelu. Bersama langkah yang kehilangan harapan ia kembali ke meja kerja dan tidak berhasil memperbaiki mood seharian.

Menjelang Maghrib saat menjemput Bagas dari daycare sepulang kantor, Asfini mulai memikirkan tawaran Pak Untung. Rasanya, tak kan sulit ujian masuk di universitas negeri di manapun baginya.  Rasanya, ia mampu.  Begitu yakin ia akan kapabilitasnya setelah memenangkan beasiswa bergengsi itu.  Tapi, akankah diterimanya tawaran itu? Apa pendapat suaminya?…. Asfini menggandeng Bagas keluar halaman daycare sambil mengelus-elus perutnya. Aaah, ada calon jabang bayi di sana.
Rintik dalam adzan maghrib sendu menemani Asfini hingga Arifan menghampiri dengan sedan tua yang mereka beli dari bertahun-tahun menabung. Keluarga kecil itu pulang ke rumah bersama-sama.

Diam-diam Asfini merasakan ketenangan berada diantara suami dan anaknya. Kembali diusapnya perut yang rata. Air mata menitik satu-satu, antara bahagia dan berusaha ikhlas….bahwa bulan bulan ke depan perutnya akan kembali membesar seperti beberapa tahun lalu.  Bahwa impian kuliah di Eropa dengan beasiswa harus dialihkan dengan kuliah di universitas dalam negeri yang masih buka pendaftaran saat ini…..  Asfini meresapi adzan maghrib dan merasa ingin segera bermesraan dengan Sang Khalik.
………………….

“UI dan ITB masih buka, Fin.  Daftar lah. Pilih mana kamu suka.  Kalau di ITB, aku kuatir kandunganmu saat besar nanti kalau harus bolak balik Jakarta-Bandung.    Kalau aku boleh saran, UI saja.  Bisa tetap dekat denganku dan Bagas,”  tutur Arifan saat Asfini mengungkapkan saran Pak Untung.
Asfini diam.

“Kenapa, Fin? ….Tidak berminat?….
Asfini masih diam.
“Kalau tidak pun, tidak apa.”  Arifan bertutur datar.  Ia paham betul betapa dalam kecewa itu.  Rasanya, kalau ia jadi Asfini, mungkin ia akan seperti itu juga.  Ia tahu bagaimana susah payahnya Asfini berjuang untuk sebuah prestasi. Dengan tetap tidak melupakan kewajiban utamanya sebagai seorang ibu dan istri.  Ia bisa merasakan semua itu saat menyentuh tubuh Asfini yang kelu dan diam.

Dalam hati Arifan berbisik, istrinya hanya butuh waktu.  Sedikit waktu saja untuk mengembalikan harmoni dalam ritme hidupnya.  Dibiarkannya istrinya sendiri. Diambilnya Bagas dan malam itu ia berbisik pada anaknya,” Bagas, papa yang kelonin yuk. Mama sedang ada yang harus dikerjakan.”

…………………..

Sepertiga malam datang menjemput Asfini untuk terjaga.  Seperti malam-malam sebelumnya, ia bangun untuk yang dua rakaat itu.  Namun kali ini Asfini tak ingin segera menyudahi kencannya dengan Ilahi.  Ia masih ingin mendapat jawaban kenapa Rabb yang Maha Pengasih tidak membiarkannya berangkat meraih cita-cita….. Kenapa…..

“Karena Dia begitu sayang kepadamu, Asfini Ambar Wulandari. Dia memilihkan semua yang terbaik untukmu,” bisik suara hatinya yang terdalam. Jernih terdengar di malam senyap.
Suara itu tidak berhenti di situ. “Tuhan Yang Pengasih memberikan sebuah kepercayaan besar padamu untuk kembali mengandung seorang bayi. Berapa banyak perempuan yang mendambakan itu namun belum diberi oleh Tuhan? Kamu akan memeliharanya seperti Bagas dulu.  Merasakan gerakannya dalam rahimmu hingga menghentak keluar seolah bayi itu berkata,”aku hidup, ma”. Kamu akan menyusuinya setelah ia lahir nanti.  Membesarkannya menjadi anak yang berbakti.  Kamu diberi kepercayaan untuk itu.  Untuk menjadi ibu. Pantaskah kamu mempertanyakan itu kepada Tuhanmu?”
Asfini mendengarkan suara hatinya dengan terpekur dalam sepertiga malam yang sunyi.  Pipinya telah basah oleh derai bening.  Tapi hatinya masih kering.  Ikhlas itu tidak datang dengan mudah.

……………………….

“Selamat, Ibu Asfini.  Semoga sukses!” , dosen yang usianya 3 tahun lebih muda darinya, namun telah menyandang gelar Doktor dan menguji tesisnya dalam sidang terbuka di kampus kuning, menyalaminya diiringi senyum.

Ruang sidang Pascasarjana FEUI Depok yang tegang telah berubah menjadi suka cita.  Tepat empat  semester Asfini menyelesaikan studi magisternya.  Usia Padmaningrum, adik Bagas belum genap dua tahun.  Bayi perempuan lucu yang selalu menemaninya sejak dalam kandungan untuk pergi kuliah ke kampus, Menemaninya mengerjakan tugas kuliah hingga tesisnya.  Bayi sehat yang tidak pernah lepas dari dadanya untuk meminta kehangatan dan air kehidupan.  Bayi yang menyadarkan Asfini akan artinya kemuliaan menyandang gelar ibu.  Lebih dari gelar akademik manapun yang mampu ia raih.

Dua tahun, waktu yang cukup bagi Asfini sebagai seorang ibu, untuk menemukan sendiri jawaban, kenapa Tuhan tidak membiarkannya kuliah ke Belgia.  Tuhan memberinya kesempatan dan anugerah, menguji kesanggupannya sebagai ibu yang kokoh.  Kini, telah diselesaikannya tugas belajar tepat waktu.  Empat semester.  Kembali bekerja dengan kesempatan dan tantangan baru.  Bonus seorang bayi perempuan yang sehat dan lucu.  Asfini selalu berderai air mata setiap mengingat betapa ia tak sanggup menghitung nikmat Tuhan.

Kini Asfini bisa berujar, “Tuhan, kini aku paham….menjadi ibu bukanlah sekedar melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak.  Tapi lebih dari itu.  Ibu adalah pilar kokoh bagi anak-anak.  Ibu adalah jiwa dan nafas Tuhan yang disalurkan kepada anak-anak.  Aku yakin, aku bisa menjadi pendidik anak-anakku dengan sikap dan perilakuku.  Karena aku tahu pelajaran dan hikmah hidupku telah mengajariku untuk ikhlas menjadi ibu.”

Asfini mengerling dan tersenyum. Paham sebagai ibu ia tetap harus berjuang untuk prestasi.  Paham bahwa daya juangnya harus ia wariskan pada anak-anaknya. Semakin paham bahwa Tuhan punya rencana terbaik bagi hambanya yang kafah. Dan Ilahi menciptakan harmoni dalam ritme hidup Asfini.


Depok, April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...