Rabu, 30 Desember 2015

Biogas: Sumber Energi Terbarukan untuk Indonesia Mandiri dan Mendunia



Ironi terpampang di hadapan. Tengoklah di pinggiran kota, gunungan sampah berpunuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) makin meluas. Hamparannya menaburkan bau menusuk hidung hingga sekian kilometer beranjak. Sampah itu bercampur baur antara organik dan non organik, 60% lebih diantaranya adalah sampah rumah tangga*.   Lalu simaklah di sisi yang lain, masyarakat di berbagai wilayah dan pelosok terjepit oleh harga bahan bakar yang selalu berdampak ekonomi sulit.  Ketika harga bahan bakar naik, -baik bahan bakar minyak maupun gas- serta merta diikuti oleh kenaikan harga barang kebutuhan hidup yang lainnya, tanpa diikuti oleh kenaikan pendapatan yang setara.  Namun ketika harga bahan bakar diumumkan turun oleh Pemerintah, tidak serta merta diikuti oleh turunnya harga barang kebutuhan hidup yang lainnya. Miris dan pahit. Kemudian lihat dan dengarlah pujian dari berbagai penjuru dunia, tentang Indonesia yang kaya sumber daya alam.  Dan ironi ini selalu terpampang di hadapan.

Dari ironi yang terpampang tersebut, sebetulnya dapat kita tarik benang merah bahwa ada permasalahan sampah dan kebutuhan energi yang berlarut-larut terjadi di Indonesia yang notabene kaya akan sumber daya alam. Dan apabila kita cermati, sebetulnya sampah dapat menjawab kebutuhan energi, jika kita mau mengelolanya. Mengelola sampah menjadi sumber energi, sepertinya memang tak akan dengan mudah populer seperti membalikkan telapak tangan. Kenapa?... Karena kita belum merasa dalam kondisi benar-benar terdesak. 

Saking kayanya Indonesia akan sumber daya alam, termasuk berbagai sumber energi, membuat kita terbiasa dengan sikap santai dan pikiran bahwa,”ah sekarang kan masih bisa”.  Mungkin, pada saat kita sudah betul-betul terdesak dan tidak punya jalan lain, barulah tergerak untuk secara luas dan nasional memanfaatkan sumber energi yang sebelumnya tidak terpopulerkan. Tidak terkecuali sampah.  Tapi, sebetulnya kita wajib waspada, jangan-jangan sebelum kita menyadari dan memanfaatkan potensialnya berbagai sumber energi di Kepulauan Nusantara, negara lain sudah lebih dulu memanfaatkannya dengan metode kapitalisme. Tambah lagi ironinya.  Bisa-bisa kita tinggal gigit jari. 

Asalkan ada kemauan, sampah mampu membuka jalan untuk membuktikan bahwa Indonesia yang kaya sumber daya alam itu bisa mandiri memenuhi kebutuhan energinya, bahkan sangat mungkin menjadi pemasok kebutuhan energi dunia.  Mengapa tidak? Mari kita simak.
Selama ini kita terlalu tergantung pada bahan bakar fosil yang suatu saat akan habis. Bersamaan dengan itu, di hadapan kita ada berbagai sumber energi yang belum secara signifikan menggantikan posisi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam. Kalaupun ada, skalanya masih dalam bentuk percontohan-percontohan, yang kemudian tiba-tiba menghilang ketika sudah tak ada lagi pendonor dana.  Media pun seperti setengah hati meletupkannya.  Mungkin, berita debat dan politik pencitraan jauh lebih penting serta bernilai jual dibanding upaya mendidik bangsa menjadi mandiri energi. Untuk skala nasional, bahan bakar fosil masih tetap hits. 

Kita semua tahu, sumber bahan bakar fosil tersebut dalam waktu dekat akan habis.  Perusahaan pertambangan seperti halnya Pertamina ( http://www.pertamina.com) mulai menata visi baru untuk ke depannya memanfaatkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan secara terintegrasi.  Sejalan dengan itu, para peneliti dan akademisi telah mengambil andil untuk mengemuka dengan usulan-usulan sumber energi baru bagi Indonesia ke depan.  Salah satu yang cukup layak dipertimbangkan adalah memanfaatkan limbah dan sampah organik untuk menghasilkan biogas. 

Kenapa Biogas?


Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme tertentu pada kondisi yang relatif sangat kurang oksigen (anaerob), atau yang lebih kita kenal sebagai proses fermentasi. Bahan baku untuk menghasilkan biogas dapat berasal dari kotoran ternak (sapi, kerbau, babi, kuda, dan unggas), limbah industri ( industri tahu, tempe, kecap, brem, ikan pindang, dan sejenisnya), kotoran manusia, dan sampah organik lainnya seperti sampah rumah tangga dan bahkan daun-daun kering.  Perbedaan sumber kotoran/limbah/sampah yang digunakan akan mempengaruhi kualitas biogas yang dihasilkan. 
Sebagai sumber energi terbarukan, biogas memiliki beberapa kelebihan dibandingkan bahan bakar fosil yang sekarang kita gunakan (bensin dan gas alam).  Oleh karena berasal dari bahan baku organik yang terus menerus ada, biogas dapat kita produksi terus menerus.  Dan karena bahan bakunya berasal dari barang sisa (limbah dan sampah), maka sangat membantu dalam pengelolaan limbah dan sampah terpadu untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat.  Terlebih lagi, biogas sangat ramah lingkungan alias bebas polusi karena tidak menghasilkan asap seperti pada pembakaran bensin.
Dari segi gas yang dihasilkan, biogas cukup menjanjikan untuk menggantikan bahan bakar fosil, yang harganya terus mencekik.  Sebagaimana pernah dilansir CNN Indonesia pada tahun lalu (http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141215142054-199-18222/sampah-organik-bisa-dipakai-untuk-memasak/), 2 sampai dengan 3 kg sampah organik rumah tangga yang direaksikan pada reaktor biogas keluaran BPPT dapat menghasilkan biogas yang dapat digunakan untuk penggunaan memasak selama 1 jam.  Menarik bukan?...

Dari segi teknologi, biogas dapat diproduksi dengan teknologi yang sederhana lagi murah. Tidak perlu alat-alat yang canggih dari luar negeri, beberapa peneliti kita ternyata telah mengembangkan reaktor atau digester biogas lokal yang cukup bersaing.  Untuk jangka panjang, biogas sangat menjanjikan sebagai jalan keluar dari ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil yang melilit ekonomi rakyat.  Biogas sangat visible untuk menuju kemandirian energi sebuah bangsa karena mendorong kita berupaya mengembangkan sesuatu dari sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat.  Ini sekaligus sangat sesuai dengan misi cinta bumi dan Go Green.  Membudayakan kemandirian dan cinta lingkungan adalah ciri bangsa yang mau maju. 

Dari segi produktivitas, biogas cukup menjanjikan karena hasil sampingnya berupa pupuk organik (banyak kandungan Nitrogen dan Phospor) yang dapat digunakan sebagai penyubur untuk industri pangan lainnya.  Pada awalnya secara konvensional, sampah organik yang telah dipilah diarahkan untuk diolah menjadi pupuk organik.  Tetapi, apabila bisa diarahkan untuk menghasilkan baik biogas dan pupuk organik, mengapa tidak?  Tambahan lagi, upaya untuk mengelola sampah organik menjadi biogas mungkin lebih bermakna dibandingkan dengan perang politik negara-negara dalam memperebutkan sumber minyak yang akhirnya belum tentu menguntungkan bagi negara tempat terdapatnya sumber minyak. 

Dipandang dari berbagai sisi baik ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan budaya, pengembangan pemanfaatan biogas memperlihatkan perspektif yang positif.  Tetapi, nampaknya memang masih akan menemui jalan yang panjang untuk sampai pada ikhtiar utuh menyatukan kemauan dalam pengelolaan sampah organik menjadi biogas.  Terlebih lagi menencourage Pemerintah untuk merumuskan kebijakan pengunaannya dalam skala nasional.  Sebab, ini membutuhkan integrasi yang utuh dari berbagai lini.

Jalan Panjang Substitusi oleh Biogas
Mengapa butuh jalan panjang untuk sampai pada tahap di mana Pemerintah mengeluarkan kebijakan penggunaan biogas sebagai sumber energi subsitusi bahan bakar fosil pada skala nasional?... Ya, Mendasar sekali kita akan meninjaunya dari sisi mental dan kebiasaan.  Hasil penelitian tentang berapa perbandingan bakteri anaerob dengan biomassa sampah organik yang akan direaksikan dalam digester untuk menghasilkan biogas dengan kandungan metana yang tinggi mungkin sudah banyak.  Begitu pula tentang bahan apa yang paling baik untuk digunakan sebagai digester, apakah fiberglass atau bahan lainnya. Apa kelemahan dan kelebihan masing-masing jenis sampah organik dan limbah industri dalam menghasilkan biogas yang bernilai ekonomis tinggi dalam skala industri juga mungkin sudah banyak dipelajari.  Tetapi, bagaimana mengubah mental kita untuk yakin, siap, dan mau menggunakan biogas sebagai pengganti bahan bakar fosil mungkin masih perlu ditata lebih mendasar.

Apabila dalam skala industri biogas sudah siap untuk dikembangkan, kita perlu mempersiapkan skema-skema pendukung di sisi implementatifnya. Kita ambil contoh di Jerman sebagaimana dikisahkan di http://bahanbakar-gas.blogspot.co.id/2012/06/sampah-organik-sebagai-bahan-bakar-gas.htmlSampah organik dari pasar induk serta sisa sampah makanan dari kantin dan restoran yang melimpah di kota Stuttgart, Jerman diolah menjadi biogas untuk bahan bakar mobil.  Pencetus dari dilakukannya upaya ini adalah sebuah ironi dimana harga bahan bakar fosil selalu naik dan dirasa begitu mencekik oleh para pengendara mobil, sementara di sisi lain ada hasil riset pasar yang membuktkan bahwa di Jerman sekitar separuh dari bahan pangan ternyata tidak dikonsumsi dan pada akhirnya mendarat di tempat sampah.  Setiap tahunnya sampah bahan pangan bisa mencapai volume sekitar 20 juta ton. Luar biasa.

Pada awal tahun 2012, para peneliti di Jerman memulai proyek instalasi biogas ini.  Bahan baku sampah dipasok dari pasar induk kota Stuttgart dan kantin kampus dekat lokasi.  Alkisah, project yang diberi nama “Etamax” itu didukung dana dari Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman.   Nah, di Jerman kendaraan pribadi maupun transportasi publik dengan bahan bakar gas sudah lebih lazim daripada di negara kita.  Sementara di negara kita, masih menjadi PR untuk menambah lebih banyak persentase penggunaan kendaraan berbahan bakar gas, terutama bahan bakar biogas. Bukan hanya terbatas untuk kendaraan publik, tetapi juga kendaraan pribadi.  Ini sebuah tantangan bukan?...

Di Indonesia, masalah sampah tidak sesederhana itu. Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memilah sampah berdasarkan jenisnya. Jangankan memilah sampah, untuk daerah tertentu membuang sampah pada tempatnya saja masih jadi PR besar yang butuh kekuatan doktrinasi.   Di kota-kota besar, mungkin sudah mulai digalakkan pemilahan sampah berdasarkan jenisnya, untuk kemudian dimanfaatkan.  Sampah organik diolah menjadi pupuk organik.  Sampah non organik dimanfaatkan menjadi produk daur ulang yang bernilai cinta lingkungan (ecocraft).  Di tempat domisili saya di Depok, Jawa Barat, yang merupakan wilayah percontohan Bank Sampah, pengelolaan sampah rumah tangga menjadi sangat hits walau menghadapi banyak tantangan.  Mindset zero waste secara masif didoktrin melalui berbagai wahana, walaupun yang kurang peduli pun masih ada.  Itulah jalan panjang yang harus dilalui. 

Dalam skala-skala yang sifatnya sporadis, pemanfaatan sampah organik dan kotoran ternak sebetulnya sangat menggembirakan.  Sebuah SMA Negeri di Bogor Jawa Barat, sudah memanfaatkan sampah daun kering dari halaman sekolah dan sampah organik dari sisa makanan di kantin sekolah untuk diolah menjadi biogas.  Digester yang digunakanpun produksi lokal.  Dari digester, biogas yang dihasilkan kemudian dialirkan dengan pipa untuk bahan bakar gas di kompor-kompor pemasak di kantin sekolah.  Walhasil, kebutuhan gas dapat dipenuhi tanpa harus membeli LPG.  Kita juga patut berbangga karena sudah punya tokoh perempuan pengembang biogas semisal Sri Wahyuni, yang sangat inspiratif kisah hidupnya.   Dengan kerelaan hati, perempuan asal Jawa Timur  yang dibesarkan di Pulau Buru ini melepaskan status dosen PNS nya untuk terjun lebih dalam sebagai pengusaha biogas.  Lebih dari 320 kabupaten telah dijamahnya untuk pengembangan biogas.  Bukan hanya dari kotoran ternak, bahkan kotoran manusia pun diolahnya menjadi biogas   (https://www.youtube.com/watch?v=bd_1Zahjbdc).


Ya, mengubah perilaku itu membutuhkan effort yang kuat dan kemauan yang bulat. Naungan kebijakan dari Pemerintah juga salah satu yang utama. Mengubah perilaku untuk mulai sadar memilah sampah, dan memanfaatkan sampah itu menjadi sumber energi agar kita jadi mandiri, bukan perihal setahun dua tahun. Tapi juga bukan ratusan tahun seperti proses evolusi.  Ini revolusi.  Segera namun tidak terburu-buru.  Cepat tetapi tidak cacat.  Melangkah tetapi tidak gegabah.  Menurut saya, inilah revolusi mental yang sesungguhnya.  Mengubah mental kita untuk lebih tangguh dan bertanggung jawab menjadi mandiri. Pantang meminta-minta dan dibodohi.  Tidak ada yang lebih tangguh dan bertanggung jawab selain mampu memanfaatkan sampah kita sendiri untuk energi kita yang tidak dicampuri oleh asing manapun. 


Jika kita sudah punya mindset kemandirian energi yang kuat, bisa jadi banyak negara akan iri. Karena Indonesia bisa akan punya power yang teramat power.  Wow. Meskipun power itu dari sampah.  Indonesia maju dan mandiri itulah yang ditakuti oleh dunia.  Mereka yang tidak mau kita maju dan mandiri akan dengan segenap upaya mengkerdilkan bangsa kita.  Tentu akan banyak tantangan untuk bisa persistent dalam mindset kemandirian ini.  Bayangkan jika seluruh sampah yang ada di negara Indonesia ini bisa dikonversi semaksimal mungkin menjadi biogas. Pada saat yang sama sampah akan terus dihasilkan dari aktivitas manusia.  Logikanya biogas itu akan terus ada. Bisa jadi kita tak hanya bisa mencukupi kebutuhan energi dalam negeri, tetapi bisa menjadi penyuplai energi bagi negara-negara lain di dunia yang miskin sumber daya.

Pertanyaannya apakah Pemerintah akan berkenan dengan konsep kemandirian energi, yang asal muasalnya dari sampah?  Apakah semua pihak mau saling bergandengan tangan dan bahkan berangkulan agar kesadaran memilah sampah ditingkatkan, suasana kondusif dikembangkan untuk perubahan perilaku, pengelolaan sampah digiatkan hingga ke lini terkecil, kebijakan transportasi publik dan kepemilikan kendaraan dibenahi?  Itu bagian kecil saja dari  rangkaian yang terkait apabila berniat menggunakan biogas sebagai jalan subsitusi energi.  Kalau jawabannya mau, pastilah kita bisa berupaya agar jalan panjang penuh tantangan menjadi lebih menyenangkan untuk dilalui.

Itulah mengapa saya katakan bahwa subsitusi bahan bakar fosil oleh biogas dan bahkan sumber energi terbarukan lainnya akan menemui jalan panjang.  Tetapi, bukan berarti kita akan menghindarinya.  Kita bisa membuatnya menjadi lebih pendek dan lebih mudah, tergantung dari kemauan dan pilihan bangsa kita. 

Mandiri dan Mendunia itu Pilihan
Ya, mandiri itu pilihan. Bukan paksaan.  Menjadi bangsa yang mandiri dalam mencukupi kebutuhan energi juga demikian.  Mendunia?... Butuh langkah yang bergerak dari dasar dan mindset perubahan untuk itu.  Pemerintah dan kita wajib punya roadmap tahap per tahap untuk mewujudkan kemandirian energi yang melibatkan baik swasta maupun BUMN.  Dalam dua tahun ke depan, hal-hal yang sifatnya mendasar seperti gerakan masif pemilahan sampah dan pemanfaatan sampah organik harus ditumbuhkembangkan dengan kerjasama yang mantap dengan pemerintah daerah dan gerakan kemasyarakatan di akar rumput.  Berikutnya, pengembangan teknologi biogas sebaiknya melibatkan seluruh BUMN yang bergerak di lini energi agar ada integrasi dan saling melengkapi, jajaran lembaga penelitian dan universitas, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.  Porsinya disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi, agar tidak bertumpang tindih. 

Kalau bangsa kita sudah bangkit dan mulai bersinergi antar lini yang ada di dalam negeri saja, sudah cukup membuat ketar-ketir seluruh dunia.  Membuka diri untuk yakin bahwa lima atau sepuluh tahun lagi Pertamina bisa mengekspor biogas dari sampah organik ke lima benua, itu memang masih jadi mimpi sekarang. Apa salahnya dengan bermimpi, kalau mimpi itu bisa jadi tembakan picu supaya peluru melesat tepat pada sasaran tembak?.... Tapi yang benar dan paling sederhana untuk dapat dilakukan adalah bangun dari mimpi dan make our dreams come true.  Kita butuh mimpi yang provokatif untuk terlecut.  Dan kita butuh memulai untuk sampai ke tujuan.  Mulai saja sekarang!  (Opi).


 *Kementerian Lingkungan Hidup, 2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...