Tantangan nyata di
hadapan para ibu era kini adalah menjadi ibu yang produktif dan
profesional. Produktif artinya mampu
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara berkesinambungan. Profesional artinya melakukannya dengan
bersungguh-sungguh. Produktif dalam arti luas bukan semata diukur dari materi
atau uang yang dihasilkan, namun lebih pada “nilai manfaat” bagi keluarga dan
masyarakat. Jika berbicara “nilai manfaat”, maka uang dan segala materi sudah
tercakup ke dalamnya. Selain itu, “nilai
manfaat” juga memuat manfaat intangible
lainnya yang tak terukur dengan uang, yang sering kita definisikan sebagai priceless. Tak salahlah bila menjadi produktif dan
profesional adalah salah satu jalan ibu untuk meningkatkan kemuliaan
hidup. Itu semua mustahil dicapai
seorang ibu tanpa menjadi seorang pembelajar. Mengapa demikian?.....
Jawabannya saya temukan
dalam Talkshow dan Launching Buku “Bunda
Produktif: Catatan Ikhtiar Menjemput Rizki”, yang diselenggarakan oleh Institut Ibu Profesional (IIP) pada
peringatan Milad nya yang ke 4 tahun. Digelar
di Depok, talkshow ini menghadirkan
empat narasumber yang mewakili Ibu Produktif dan Profesional dengan
karakteristik masing-masing. Keempat ibu tersebut adalah Bunda Sari Indra Dewi
(Pembina IIP Depok dan owner Rumah
Aqsho -butik busana muslimah), Bunda Wulandari Eka Sari Suroso (konsultan
keuangan), Bunda Madya Harmeka (Ketua Komunitas Tangan Peduli Lingkungan (TaPe uLi),
yang bergiat di pengelolaan sampah rumah tangga, bank sampah, dan pengembangan
produk kreatif daur ulang sampah), dan Bunda Sri Suparwati (seorang crafter yang inspiratif).
Mula-mula saya terpekur
ketika Bunda Sari menuturkan kisahnya memulai bisnis busana muslimah,
bertahun-tahun lalu sebelum usahanya eksis seperti sekarang. Kendala utama yang dirasakan beliau saat
memulai bisnis adalah ‘terlalu idealis’. “Saya inginnya punya brand sendiri, penjahit sendiri, dan
belanja bahan sendiri. Tetapi setelah
menjalani barulah saya menyadari itu tidak mungkin, saya harus punya tim”. Bunda Sari melewati jalan untuk menjadi
produktif dan profesional dengan proses belajar. Pun, juga belajar bahwa
setelah menghasilkan, tanggung jawabnya akan bertambah yaitu terhadap
kelangsungan usaha dan penghidupan para karyawannya. Belajar untuk mampu lebih kreatif, lebih
percaya diri, dan selalu berupaya meningkatkan kualitas diri, itulah yang
dijalani Bunda Sari waktu demi waktu.
Apa jadinya jika Bunda
Sari tidak menjadi seorang pembelajar ketika menjalankan bisnisnya?....
Mungkin, kita tidak akan pernah mengenal Rumah Aqsho sekarang. Dan nyatanya, tidak mudah menjadi seorang
pembelajar yang tangguh. Seorang pembelajar tidak mudah menyerah dalam berusaha
mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat-bakat terbaiknya. Untuk memutuskan akan menekuni bisnis busana
muslimahpun, itu sudah melalui proses seorang pembelajar. Sebelumnya, Bunda Sari sempat mencoba
berjualan berbagai macam produk mulai dari Tupperware
hingga lampu kristal, didorong oleh keinginan memiliki barang-barang yang
tidak ada budget pengeluarannya dari
nafkah yang diberikan suami.
Maka, menjadi ibu pembelajar itu mutlak, tak dapat ditawar-tawar lagi,
ketika ingin mewujudkan produktifitas dan profesionalisme. Marilah lebih dulu
kita tilik, makna pembelajar. Apa sih manusia pembelajar?..... Andrias Harefa
dalam bukunya “ Menjadi Manusia Pembelajar” (Penerbit Buku Kompas, 2000;
hlm.30-31) menuliskan bahwa manusia pembelajar adalah manusia yang bersedia
menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting. Pertama,
berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya,
dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa
pertanyaan eksistensial seperti: Siapakah aku ini?; Dari mana aku datang?;
Kemanakah aku akan pergi?; Apa yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?;
dan Kepada siapa aku percaya? Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk
mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan
dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri
dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang “bukan dirinya”.
Produktifku dan kamu: Beda!
Penuturan Bunda Wulan, narasumber yang kedua dalam
talkshow ini, semakin menguatkan bahwa untuk menjadi produktif dan profesional,
seorang ibu haruslah menjadi pembelajar yang tangguh. Pertama, beliau mengingatkan bahwa yang utama
adalah peran sebagai istri dan ibu.
Barulah setelah itu, para ibu seyogyanya menemukan style masing-masing untuk bisa menjadi produktif dan
profesional. “Temukan potensi Anda
masing-masing, yang unik, tidak sama dengan orang lain. Ada orang yang passion nya menghasilkan produk, ada yang marketing, ada yang konsultan, masing-masing memiliki potensi,”
ujar Bunda Wulan.
Dalam hal ini, Bunda Wulan berpesan agar berhentilah
membandingkan diri kita dengan orang lain. Melalui proses belajar, kita akan
menemukan di mana potensi kita, bagaimana style
kita, dan itu merupakan aset dalam diri kita yang harus digali dan dikembangkan
untuk menjadi produktif dan profesional.
“Benchmarking boleh dan perlu,
tetapi fokuskan pada yang sifatnya kualifikasi dan bukan materi,’ kata Bunda
Wulan.
Bunda Wulan menjelaskan, ada orang yang memang bakatnya
menjadi karyawan. Ketika mencoba untuk
berdagang atau melakukan usaha lain, selalu gagal. “Ya tidak usah dipaksakan, sesuaikan saja dengan
karakter,” imbuhnya. Bunda Wulan
menjelaskan bahwa istilah karyawan yang digaji memang belum ada pada zaman
Rusulullah. Pada era Kalifah Abu Bakar barulah ada konsep pekerjaan layaknya
karyawan seperti sekarang, yaitu orang yang digaji oleh sebuah organisasi.
Hal penting yang tidak boleh dilupakan untuk menjadi produktif
dan profesional menurut Bunda Wulan, selain menjadi diri sendiri, adalah
membangun silaturahim dan selalu belajar serta upgrading tanpa henti. “Tidak lupa selalu berpikir positif karena
ini akan membangun psikologis yang positif serta energi positif sehingga
membuat sehat,” tambah Bunda Wulan. Tak
henti melakukan upgrading dan positive thinking adalah ciri manusia
pembelajar. Apabila seorang ibu mampu
menerapkannya, Insha Allah rangkaian kata “ bisnis hebat,
rizqi manfaat, keluarga dekat’, akan menjadi kenyataan yang indah.
Produktif:
Mulai dari yang Dekat!
Darimana kita memulai
untuk menjadi produktif dan profesional?... Bunda Madya Harmeka memilih untuk
memulai dari yang dekat. Beliau memilih “sampah rumah tangga” yang setiap hari
dihasilkan oleh setiap keluarga sebagai awal kiprah yang berujung manfaat.
Produktif?... Nyata-nyata YA! Setelah
bertahun-tahun bergumul, setidaknya kini pengelolaan sampah rumah tangga yang
digalakkannya mulai menular ke mana-mana. Bank Sampah yang digagas untuk solusi
manajemen sampah rumah tangga, mampu menstimulus bergeraknya produksi pupuk
organik dari sampah organik serta menggeliatnya produksi kerajinan berbahan
baku daur ulang (ecocraft).
“Untuk menjadi
produktif, kita bisa memulai dari yang dekat. Walaupun untuk menjadi produktif,
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara sinambung, itu tidak instan,
memerlukan waktu dan proses pembelajaran dari waktu ke waktu,” tutur Bunda
Madya.
Terlebih lagi, upaya
yang dilakukan Bunda Madya adalah upaya yang sifatnya bertujuan mengubah
perilaku manusia. Yang tadinya kurang
peduli, menjadi lebih peduli terhadap lingkungan. Yang tadinya tidak mau
memilah sampah, menjadi sadar untuk memilah sampah dengan ridho. Ini seperti menumbuhkan cinta dan rasa. Cinta dan rasa yang mampu mengubah
perilaku. Tentu saja ini tidak dapat
diukur dalam hitungan satu atau dua tahun.
Hal yang sifatnya mengubah perilaku harus menyentuh cara berpikir
seseorang, sehingga merubah mindsetnya. Dan bayangkanlah seberapa luas nilai
manfaatnya jika kita mampu membuka kesadaran ribuan manusia untuk lebih peduli
pada lingkungan dan lebih peduli pada pengelolaan sampah rumah tangga.
Untuk membuka kesadaran
peduli lingkungan, mungkinkah dilakukan oleh seorang yang bukan pembelajar?...
Nyaris tidak mungkin! Dalam prosesnya, kita harus selalu belajar. Belajar memahami berbagai karakter manusia,
belajar berbagai pendekatan untuk sosialisasi, dan belajar untuk tidak menyerah
ketika lebih banyak orang tidak peduli.
Bukan hanya sekedar pembelajar yang dibutuhkan, tetapi pembelajar yang
tangguh.
Produktif
untuk Survive!
Pengalaman narasumber
Sri Suparwati, mungkin yang paling membuat trenyuh perasaan saya sebagai
pengunjung talkshow. Beliau adalah ibu
satu anak, yang semula bekerja sebagai staf di sebuah lembaga pendidikan tinggi
di Jakarta. Nasib merubah seluruh keseharian hidupnya. Di usianya yang ke 37 tahun, Bunda Wati
-begitu ia biasa disapa- melahirkan untuk pertama kalinya, lalu berhenti
bekerja kantoran untuk memfokuskan diri mengasuh bayinya. Hal terburuk yang
terjadi adalah ketika pasangan hidupnya meninggalkan Bunda Wati, membawa
seluruh harta benda, tanpa tersisa. “Dia
memilih pergi dengan perempuan lain, dan membawa semua harta benda, ” ujar Bunda
Wati menjawab pertanyaan saya dalam perbincangan santai usai talkshow berlangsung.
Untuk menopang hidup
dan membiayai anak semata wayangnya, Bunda Wati mengembangkan usaha yang
berawal dari hobinya membuat berbagai macam kerajinan tangan seperti boneka,
bros,wadah-wadah perabot rumah tangga, dan hiasan rumah. Beberapa diantaranya dibuat dari bahan-bahan
sisa seperti kain perca, koran bekas, dan botol-botol minuman kemasan. Bunda Wati pun menjadi produktif untuk bisa survive menghidupi diri dan anaknya.
“Alhamdulillah, bisa untuk bayar kontrakan rumah, membiayai anak sekolah, dan
makan kami,” ujarnya. Dengan suka cita
Bunda Wati menunjukkan beberapa hasil kerajinannya kepada pengunjung talkshow.
Saya tak dapat menahan
haru, saat mengetahui usia anak Bu Wati saat ini sudah 13 tahun. Artinya, selama itu pula ia berjuang untuk survive. Selama itu pula ia produktif.
Selama itu pula ia menjadi pembelajar yang tangguh. Bunda Wati tidak bergerak sendiri. Ia merangkul banyak perempuan untuk bergabung
membuat kerajinan, agar dapat memenuhi permintaan pasar. Namun, seringkali Bunda Wati dihadapkan pada
etos kerja yang tidak sejalan dengan kebutuhan dinamika zaman. “ Modal membuat kerajinan ini hanyalah
kemauan dan kesabaran. Tidak perlu
pintar. Semua bia dipelajari caranya.
Tapi sayang, kadang sudah diajak, orangnya lebih suka ngobrol-ngobrol daripada bikin beginian, “ kata Bunda Wati. Tak kuasa, saya memeluk erat Bunda Wati,
seolah alam bawah sadar saya menginginkan untuk menyerap semangat dan jiwa
pembelajar tangguhnya.
Tiba-tiba saya pun
teringat, suami saya pernah berkata bahwa begitu banyak orang menyikapi sebuah
perbedaan dengan debat, tetapi berapa banyak orang yang menyikapinya dengan
sebuah pemikiran positif. Berapa banyak orang yang berusaha menemukan sisi baik
dari setiap hal, hal yang buruk sekalipun.
Ini sebagaimana yang dialami Bunda Wati.
Karena setiap momen tidak pernah terjadi untuk sia-sia, maka saya ingin
mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan pendapat tentang kiprah perempuan dan ibu
dalam area non domestik akan selalu ada. Bukan itu yang kita cari. Tapi sebaiknya lebih memfokuskan pada
“menjadi produktif dan profesional versi kamu” , karena setiap perempuan/ibu
punya potensi dan karakteristik masing-masing.
Punya jalan hidup dan passion
masing-masing. No comparison. Dan
tidak satupun berhak untuk menilai bahwa yang satu lebih mulia dibandingkan
yang lain.
Sebuah pelajaran
berharga tentang produktif versi masing-masing narasumber dalam talkshow ini membuka pikiran saya
tentang satu hal. Bahwa tanpa menjadi pembelajar yang tangguh, mustahil seorang
ibu bisa menjadi produktif dan profesional. Ibu pembelajar yang tangguh adalah
sebuah keniscayaan. Dalam hal ini ibu
membutuhkan dukungan penuh dari suami dan keluarga. Ibu perlu diberi
kepercayaan dan kesempatan untuk menjadi produktif dan profesional. Sebab,
dampaknya akan terasa bagi keluarga dan lingkungan. Ibu pembelajar akan menularkan virus
pembelajar sehingga akan terbit manusia-manusia pembelajar dalam lingkungan yang
senantiasa dinamis. Semoga. Tetap semangat
ibu-ibu....untuk menjadi lebih produktif dan profesional! (Opi)
#IbuProfesional,
#IIPDepok, #Milad4Tahun, #BundaProduktif, #IbuProfesionalDepok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar