Rabu, 30 Desember 2015

Biogas: Sumber Energi Terbarukan untuk Indonesia Mandiri dan Mendunia



Ironi terpampang di hadapan. Tengoklah di pinggiran kota, gunungan sampah berpunuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) makin meluas. Hamparannya menaburkan bau menusuk hidung hingga sekian kilometer beranjak. Sampah itu bercampur baur antara organik dan non organik, 60% lebih diantaranya adalah sampah rumah tangga*.   Lalu simaklah di sisi yang lain, masyarakat di berbagai wilayah dan pelosok terjepit oleh harga bahan bakar yang selalu berdampak ekonomi sulit.  Ketika harga bahan bakar naik, -baik bahan bakar minyak maupun gas- serta merta diikuti oleh kenaikan harga barang kebutuhan hidup yang lainnya, tanpa diikuti oleh kenaikan pendapatan yang setara.  Namun ketika harga bahan bakar diumumkan turun oleh Pemerintah, tidak serta merta diikuti oleh turunnya harga barang kebutuhan hidup yang lainnya. Miris dan pahit. Kemudian lihat dan dengarlah pujian dari berbagai penjuru dunia, tentang Indonesia yang kaya sumber daya alam.  Dan ironi ini selalu terpampang di hadapan.

Dari ironi yang terpampang tersebut, sebetulnya dapat kita tarik benang merah bahwa ada permasalahan sampah dan kebutuhan energi yang berlarut-larut terjadi di Indonesia yang notabene kaya akan sumber daya alam. Dan apabila kita cermati, sebetulnya sampah dapat menjawab kebutuhan energi, jika kita mau mengelolanya. Mengelola sampah menjadi sumber energi, sepertinya memang tak akan dengan mudah populer seperti membalikkan telapak tangan. Kenapa?... Karena kita belum merasa dalam kondisi benar-benar terdesak. 

Saking kayanya Indonesia akan sumber daya alam, termasuk berbagai sumber energi, membuat kita terbiasa dengan sikap santai dan pikiran bahwa,”ah sekarang kan masih bisa”.  Mungkin, pada saat kita sudah betul-betul terdesak dan tidak punya jalan lain, barulah tergerak untuk secara luas dan nasional memanfaatkan sumber energi yang sebelumnya tidak terpopulerkan. Tidak terkecuali sampah.  Tapi, sebetulnya kita wajib waspada, jangan-jangan sebelum kita menyadari dan memanfaatkan potensialnya berbagai sumber energi di Kepulauan Nusantara, negara lain sudah lebih dulu memanfaatkannya dengan metode kapitalisme. Tambah lagi ironinya.  Bisa-bisa kita tinggal gigit jari. 

Asalkan ada kemauan, sampah mampu membuka jalan untuk membuktikan bahwa Indonesia yang kaya sumber daya alam itu bisa mandiri memenuhi kebutuhan energinya, bahkan sangat mungkin menjadi pemasok kebutuhan energi dunia.  Mengapa tidak? Mari kita simak.
Selama ini kita terlalu tergantung pada bahan bakar fosil yang suatu saat akan habis. Bersamaan dengan itu, di hadapan kita ada berbagai sumber energi yang belum secara signifikan menggantikan posisi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam. Kalaupun ada, skalanya masih dalam bentuk percontohan-percontohan, yang kemudian tiba-tiba menghilang ketika sudah tak ada lagi pendonor dana.  Media pun seperti setengah hati meletupkannya.  Mungkin, berita debat dan politik pencitraan jauh lebih penting serta bernilai jual dibanding upaya mendidik bangsa menjadi mandiri energi. Untuk skala nasional, bahan bakar fosil masih tetap hits. 

Kita semua tahu, sumber bahan bakar fosil tersebut dalam waktu dekat akan habis.  Perusahaan pertambangan seperti halnya Pertamina ( http://www.pertamina.com) mulai menata visi baru untuk ke depannya memanfaatkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan secara terintegrasi.  Sejalan dengan itu, para peneliti dan akademisi telah mengambil andil untuk mengemuka dengan usulan-usulan sumber energi baru bagi Indonesia ke depan.  Salah satu yang cukup layak dipertimbangkan adalah memanfaatkan limbah dan sampah organik untuk menghasilkan biogas. 

Kenapa Biogas?


Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme tertentu pada kondisi yang relatif sangat kurang oksigen (anaerob), atau yang lebih kita kenal sebagai proses fermentasi. Bahan baku untuk menghasilkan biogas dapat berasal dari kotoran ternak (sapi, kerbau, babi, kuda, dan unggas), limbah industri ( industri tahu, tempe, kecap, brem, ikan pindang, dan sejenisnya), kotoran manusia, dan sampah organik lainnya seperti sampah rumah tangga dan bahkan daun-daun kering.  Perbedaan sumber kotoran/limbah/sampah yang digunakan akan mempengaruhi kualitas biogas yang dihasilkan. 
Sebagai sumber energi terbarukan, biogas memiliki beberapa kelebihan dibandingkan bahan bakar fosil yang sekarang kita gunakan (bensin dan gas alam).  Oleh karena berasal dari bahan baku organik yang terus menerus ada, biogas dapat kita produksi terus menerus.  Dan karena bahan bakunya berasal dari barang sisa (limbah dan sampah), maka sangat membantu dalam pengelolaan limbah dan sampah terpadu untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat.  Terlebih lagi, biogas sangat ramah lingkungan alias bebas polusi karena tidak menghasilkan asap seperti pada pembakaran bensin.
Dari segi gas yang dihasilkan, biogas cukup menjanjikan untuk menggantikan bahan bakar fosil, yang harganya terus mencekik.  Sebagaimana pernah dilansir CNN Indonesia pada tahun lalu (http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141215142054-199-18222/sampah-organik-bisa-dipakai-untuk-memasak/), 2 sampai dengan 3 kg sampah organik rumah tangga yang direaksikan pada reaktor biogas keluaran BPPT dapat menghasilkan biogas yang dapat digunakan untuk penggunaan memasak selama 1 jam.  Menarik bukan?...

Dari segi teknologi, biogas dapat diproduksi dengan teknologi yang sederhana lagi murah. Tidak perlu alat-alat yang canggih dari luar negeri, beberapa peneliti kita ternyata telah mengembangkan reaktor atau digester biogas lokal yang cukup bersaing.  Untuk jangka panjang, biogas sangat menjanjikan sebagai jalan keluar dari ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil yang melilit ekonomi rakyat.  Biogas sangat visible untuk menuju kemandirian energi sebuah bangsa karena mendorong kita berupaya mengembangkan sesuatu dari sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat.  Ini sekaligus sangat sesuai dengan misi cinta bumi dan Go Green.  Membudayakan kemandirian dan cinta lingkungan adalah ciri bangsa yang mau maju. 

Dari segi produktivitas, biogas cukup menjanjikan karena hasil sampingnya berupa pupuk organik (banyak kandungan Nitrogen dan Phospor) yang dapat digunakan sebagai penyubur untuk industri pangan lainnya.  Pada awalnya secara konvensional, sampah organik yang telah dipilah diarahkan untuk diolah menjadi pupuk organik.  Tetapi, apabila bisa diarahkan untuk menghasilkan baik biogas dan pupuk organik, mengapa tidak?  Tambahan lagi, upaya untuk mengelola sampah organik menjadi biogas mungkin lebih bermakna dibandingkan dengan perang politik negara-negara dalam memperebutkan sumber minyak yang akhirnya belum tentu menguntungkan bagi negara tempat terdapatnya sumber minyak. 

Dipandang dari berbagai sisi baik ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan budaya, pengembangan pemanfaatan biogas memperlihatkan perspektif yang positif.  Tetapi, nampaknya memang masih akan menemui jalan yang panjang untuk sampai pada ikhtiar utuh menyatukan kemauan dalam pengelolaan sampah organik menjadi biogas.  Terlebih lagi menencourage Pemerintah untuk merumuskan kebijakan pengunaannya dalam skala nasional.  Sebab, ini membutuhkan integrasi yang utuh dari berbagai lini.

Jalan Panjang Substitusi oleh Biogas
Mengapa butuh jalan panjang untuk sampai pada tahap di mana Pemerintah mengeluarkan kebijakan penggunaan biogas sebagai sumber energi subsitusi bahan bakar fosil pada skala nasional?... Ya, Mendasar sekali kita akan meninjaunya dari sisi mental dan kebiasaan.  Hasil penelitian tentang berapa perbandingan bakteri anaerob dengan biomassa sampah organik yang akan direaksikan dalam digester untuk menghasilkan biogas dengan kandungan metana yang tinggi mungkin sudah banyak.  Begitu pula tentang bahan apa yang paling baik untuk digunakan sebagai digester, apakah fiberglass atau bahan lainnya. Apa kelemahan dan kelebihan masing-masing jenis sampah organik dan limbah industri dalam menghasilkan biogas yang bernilai ekonomis tinggi dalam skala industri juga mungkin sudah banyak dipelajari.  Tetapi, bagaimana mengubah mental kita untuk yakin, siap, dan mau menggunakan biogas sebagai pengganti bahan bakar fosil mungkin masih perlu ditata lebih mendasar.

Apabila dalam skala industri biogas sudah siap untuk dikembangkan, kita perlu mempersiapkan skema-skema pendukung di sisi implementatifnya. Kita ambil contoh di Jerman sebagaimana dikisahkan di http://bahanbakar-gas.blogspot.co.id/2012/06/sampah-organik-sebagai-bahan-bakar-gas.htmlSampah organik dari pasar induk serta sisa sampah makanan dari kantin dan restoran yang melimpah di kota Stuttgart, Jerman diolah menjadi biogas untuk bahan bakar mobil.  Pencetus dari dilakukannya upaya ini adalah sebuah ironi dimana harga bahan bakar fosil selalu naik dan dirasa begitu mencekik oleh para pengendara mobil, sementara di sisi lain ada hasil riset pasar yang membuktkan bahwa di Jerman sekitar separuh dari bahan pangan ternyata tidak dikonsumsi dan pada akhirnya mendarat di tempat sampah.  Setiap tahunnya sampah bahan pangan bisa mencapai volume sekitar 20 juta ton. Luar biasa.

Pada awal tahun 2012, para peneliti di Jerman memulai proyek instalasi biogas ini.  Bahan baku sampah dipasok dari pasar induk kota Stuttgart dan kantin kampus dekat lokasi.  Alkisah, project yang diberi nama “Etamax” itu didukung dana dari Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman.   Nah, di Jerman kendaraan pribadi maupun transportasi publik dengan bahan bakar gas sudah lebih lazim daripada di negara kita.  Sementara di negara kita, masih menjadi PR untuk menambah lebih banyak persentase penggunaan kendaraan berbahan bakar gas, terutama bahan bakar biogas. Bukan hanya terbatas untuk kendaraan publik, tetapi juga kendaraan pribadi.  Ini sebuah tantangan bukan?...

Di Indonesia, masalah sampah tidak sesederhana itu. Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memilah sampah berdasarkan jenisnya. Jangankan memilah sampah, untuk daerah tertentu membuang sampah pada tempatnya saja masih jadi PR besar yang butuh kekuatan doktrinasi.   Di kota-kota besar, mungkin sudah mulai digalakkan pemilahan sampah berdasarkan jenisnya, untuk kemudian dimanfaatkan.  Sampah organik diolah menjadi pupuk organik.  Sampah non organik dimanfaatkan menjadi produk daur ulang yang bernilai cinta lingkungan (ecocraft).  Di tempat domisili saya di Depok, Jawa Barat, yang merupakan wilayah percontohan Bank Sampah, pengelolaan sampah rumah tangga menjadi sangat hits walau menghadapi banyak tantangan.  Mindset zero waste secara masif didoktrin melalui berbagai wahana, walaupun yang kurang peduli pun masih ada.  Itulah jalan panjang yang harus dilalui. 

Dalam skala-skala yang sifatnya sporadis, pemanfaatan sampah organik dan kotoran ternak sebetulnya sangat menggembirakan.  Sebuah SMA Negeri di Bogor Jawa Barat, sudah memanfaatkan sampah daun kering dari halaman sekolah dan sampah organik dari sisa makanan di kantin sekolah untuk diolah menjadi biogas.  Digester yang digunakanpun produksi lokal.  Dari digester, biogas yang dihasilkan kemudian dialirkan dengan pipa untuk bahan bakar gas di kompor-kompor pemasak di kantin sekolah.  Walhasil, kebutuhan gas dapat dipenuhi tanpa harus membeli LPG.  Kita juga patut berbangga karena sudah punya tokoh perempuan pengembang biogas semisal Sri Wahyuni, yang sangat inspiratif kisah hidupnya.   Dengan kerelaan hati, perempuan asal Jawa Timur  yang dibesarkan di Pulau Buru ini melepaskan status dosen PNS nya untuk terjun lebih dalam sebagai pengusaha biogas.  Lebih dari 320 kabupaten telah dijamahnya untuk pengembangan biogas.  Bukan hanya dari kotoran ternak, bahkan kotoran manusia pun diolahnya menjadi biogas   (https://www.youtube.com/watch?v=bd_1Zahjbdc).


Ya, mengubah perilaku itu membutuhkan effort yang kuat dan kemauan yang bulat. Naungan kebijakan dari Pemerintah juga salah satu yang utama. Mengubah perilaku untuk mulai sadar memilah sampah, dan memanfaatkan sampah itu menjadi sumber energi agar kita jadi mandiri, bukan perihal setahun dua tahun. Tapi juga bukan ratusan tahun seperti proses evolusi.  Ini revolusi.  Segera namun tidak terburu-buru.  Cepat tetapi tidak cacat.  Melangkah tetapi tidak gegabah.  Menurut saya, inilah revolusi mental yang sesungguhnya.  Mengubah mental kita untuk lebih tangguh dan bertanggung jawab menjadi mandiri. Pantang meminta-minta dan dibodohi.  Tidak ada yang lebih tangguh dan bertanggung jawab selain mampu memanfaatkan sampah kita sendiri untuk energi kita yang tidak dicampuri oleh asing manapun. 


Jika kita sudah punya mindset kemandirian energi yang kuat, bisa jadi banyak negara akan iri. Karena Indonesia bisa akan punya power yang teramat power.  Wow. Meskipun power itu dari sampah.  Indonesia maju dan mandiri itulah yang ditakuti oleh dunia.  Mereka yang tidak mau kita maju dan mandiri akan dengan segenap upaya mengkerdilkan bangsa kita.  Tentu akan banyak tantangan untuk bisa persistent dalam mindset kemandirian ini.  Bayangkan jika seluruh sampah yang ada di negara Indonesia ini bisa dikonversi semaksimal mungkin menjadi biogas. Pada saat yang sama sampah akan terus dihasilkan dari aktivitas manusia.  Logikanya biogas itu akan terus ada. Bisa jadi kita tak hanya bisa mencukupi kebutuhan energi dalam negeri, tetapi bisa menjadi penyuplai energi bagi negara-negara lain di dunia yang miskin sumber daya.

Pertanyaannya apakah Pemerintah akan berkenan dengan konsep kemandirian energi, yang asal muasalnya dari sampah?  Apakah semua pihak mau saling bergandengan tangan dan bahkan berangkulan agar kesadaran memilah sampah ditingkatkan, suasana kondusif dikembangkan untuk perubahan perilaku, pengelolaan sampah digiatkan hingga ke lini terkecil, kebijakan transportasi publik dan kepemilikan kendaraan dibenahi?  Itu bagian kecil saja dari  rangkaian yang terkait apabila berniat menggunakan biogas sebagai jalan subsitusi energi.  Kalau jawabannya mau, pastilah kita bisa berupaya agar jalan panjang penuh tantangan menjadi lebih menyenangkan untuk dilalui.

Itulah mengapa saya katakan bahwa subsitusi bahan bakar fosil oleh biogas dan bahkan sumber energi terbarukan lainnya akan menemui jalan panjang.  Tetapi, bukan berarti kita akan menghindarinya.  Kita bisa membuatnya menjadi lebih pendek dan lebih mudah, tergantung dari kemauan dan pilihan bangsa kita. 

Mandiri dan Mendunia itu Pilihan
Ya, mandiri itu pilihan. Bukan paksaan.  Menjadi bangsa yang mandiri dalam mencukupi kebutuhan energi juga demikian.  Mendunia?... Butuh langkah yang bergerak dari dasar dan mindset perubahan untuk itu.  Pemerintah dan kita wajib punya roadmap tahap per tahap untuk mewujudkan kemandirian energi yang melibatkan baik swasta maupun BUMN.  Dalam dua tahun ke depan, hal-hal yang sifatnya mendasar seperti gerakan masif pemilahan sampah dan pemanfaatan sampah organik harus ditumbuhkembangkan dengan kerjasama yang mantap dengan pemerintah daerah dan gerakan kemasyarakatan di akar rumput.  Berikutnya, pengembangan teknologi biogas sebaiknya melibatkan seluruh BUMN yang bergerak di lini energi agar ada integrasi dan saling melengkapi, jajaran lembaga penelitian dan universitas, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.  Porsinya disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi, agar tidak bertumpang tindih. 

Kalau bangsa kita sudah bangkit dan mulai bersinergi antar lini yang ada di dalam negeri saja, sudah cukup membuat ketar-ketir seluruh dunia.  Membuka diri untuk yakin bahwa lima atau sepuluh tahun lagi Pertamina bisa mengekspor biogas dari sampah organik ke lima benua, itu memang masih jadi mimpi sekarang. Apa salahnya dengan bermimpi, kalau mimpi itu bisa jadi tembakan picu supaya peluru melesat tepat pada sasaran tembak?.... Tapi yang benar dan paling sederhana untuk dapat dilakukan adalah bangun dari mimpi dan make our dreams come true.  Kita butuh mimpi yang provokatif untuk terlecut.  Dan kita butuh memulai untuk sampai ke tujuan.  Mulai saja sekarang!  (Opi).


 *Kementerian Lingkungan Hidup, 2013




Senin, 28 Desember 2015

Banyak Mengeluh, Hambatan Terbesar Untuk Maju


Pribadi yang gemar mengeluh, selalu complain dalam berbagai situasi, serta tidak henti-hentinya menyalahkan keadaan dan orang lain, bisa jadi mengalami hambatan besar untuk kemajuan diri sendiri.  Orang seperti ini sulit melihat sisi baik kehidupan dan tidak tergerak untuk berpikir positif.  Akibatnya, manusia model begini akan tersingkir perlahan-lahan ke tepi, sulit maju dalam meraih keberhasilan dalam hidupnya. Kalaupun bertahan di arena, orang-orang yang gemar mengeluh akan dijauhi karena secara natural kita lebih nyaman berada di lingkungan dengan aura positif.

Mengapa Mengeluh?

Mengapa manusia gemar mengeluh? Apakah mengeluh itu sesuatu yang sifatnya manusiwi?... Dalam Al Quran -kitab suci umat Islam- pun tertulis bahwa sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (QS Al Ma’arij: 19-20).  Demikianlah kecenderungan sifat manusia. Apabila keluh kesah itu masih dalam batas kewajaran, tidak akan menjadi masalah bagi diri sendiri maupun lingkungan.  Namun apabila mengeluh dijadikan kebiasaan setiap menanggapi suatu hal, akan menjadi hambatan mental yang cukup berarti.  Hambatan mental seringkali jauh lebih berat dibandingkan hambatan fisik. Seseorang dengan hambatan mental akan sulit terbebas dari belenggu kecuali atas kesadarannya sendiri.  Membuka kesadaran seseorang yang terbelenggu mentalnya akan jauh lebih sulit serta memerlukan upaya dan pendekatan yang tepat.




Contoh sederhana, seorang perempuan yang terpelajar, mengenakan busana yang serasi dengan riasan wajahnya, namun dari pagi sampai sore kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu berupa keluhan.  Mulai dari udara yang panas, jalanan macet, bos yang rese, pekerjaan menumpuk, makanan tidak cocok, sampai toilet selalu antri.  Nada mengeluh tidak berjeda.  Bandingkan dengan perempuan lain yang sama tampilannya, busana serasi dengan riasan wajahnya, tetapi selalu mengucapkan kalimat positif ketika menghadapi kondisi yang tidak nyaman atau kesulitan.  Nada mengeluh tidak diekspos. Jika saya boleh memilih, saya lebih suka berada di dekat-dekat yang kedua. 

Keluhan yang diucapkan secara langsung maupun tidak langsung juga berpengaruh pada lingkungan sekitar.  Orang yang selalu mengeluh setiap mennemui kondisi tak nyaman, akan punya peluang lebih besar untuk dijauhi.  Kalau sudah begitu, dampaknya tidak menguntungkan juga kan bagi si pengeluh.  Bagaikan terkena sanksi sosial. Ngga enak banget ya. Padahal, dalam hubungan sosial yang baik itu justru seringkali kita sebagai pribadi mendapatkan kesempatan-kesempatan baik yang tidak didapat jika kita tidak bersikap positif.

Dampak yang lebih buruk terjadi pada anak-anak kita apabila ibu dan ayahnya hobi mengeluh. Sosok orang tua menjadi panutan bagi anak-anak. Apalagi anak balita, yang dalam tahap “copy paste” habis dari lingkungan terdekat tempat mereka terekspos.  Terbayang kan, kalau ayah dan ibunya hobi ngeluh aja, anak-anak akan punya hobi yang sama.  Dari kecil terbiasa mengeluh, bagaimana kelak mental mereka di era yang lebih banyak tantangan di masa depan?....

Mengeluh Vs Maju

Maju secara harfiah makna sederhananya adalah berpindah posisi atau bergerak ke depan (muka). Tidak peduli bagaimana pergerakannya, mungkin dengan berjalan, berlari, merangkak, menggunakan alat ataupun tidak.  Yang jelas, pergerakannya memindahkan posisi kita dari posisi awal ke posisi yang lebih jauh ke muka.  Dalam makna yang lebih luas, maju bisa bermakna berkembang lebih baik pemikirannya, lebih tinggi peradabannya, ataupun menjadi lebih baik kelakuannya. 

Untuk mencapai kemajuan, sedikit atau banyak, akan dipengaruhi oleh sikap kita sebagai pribadi.  Jika kita mengedepankan lebih banyak sikap positif maka peluang untuk bisa maju akan semakin besar berada di tangan kita.  Sikap positif itu antara lain tidak mudah mengeluh.  Sederhananya begini, pada waktu mengeluh, apalagi terus-terusan, kita memfokuskan energi untuk mengeluh, sehingga energi kita habis terkuras untuk mengeluh.  Kita jadi lupa, bahwa kita butuh energi untuk menghadapi hal-hal lain yang terbentang di hadapan kita. Walhasil, kesempatan yang mungkin ada di hadapan untuk mengembangkan diri lebih baik, lewat begitu saja karena kita sudah kehabisan energi.  Jangan salah, mengeluh itu jauh urusannya ke dalam perasaan, dan urusan perasaan itu bukan cuma menguras energi fisik tapi juga pikiran. Pikiran jadi negatif, dan kita sulit menjadi pribadi yang berbahagia.

Jadi, mengeluhkan sesuatu saat kondisi tidak nyaman, sebetulnya manusiawi, asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga terus terusan terjadi.  Tiap pribadi seharusnya punya barometer, untuk mengukur bahwa keluhan yang keluar masih dalam tahap wajar atau tidak.  Sebetulnya ukurannya tidak baku,  tetapi jika orang-orang sudah mulai terganggu dengan keluhan-keluhan Anda, itu warning untuk segera introspeksi.  Jika dipikir lebih lanjut, Anda pasti setuju bahwa mengeluh tidak membuat sesuatu menjadi lebih baik atau menyelesaikan suatu masalah.  Kalau untuk membuang unek-unek dan keluh kesah, ada tempat yang lebih pas tentunya. 


Saya mengamati, pada beberapa kasus, orang-orang yang latar belakangnya sering ditindas atau disakiti, relatif jarang atau kelihatan tak pernah mengeluh.  Tetapi sekalinya mengeluh, ternyata dalam sekali.  Orang-orang seperti ini sebetulnya punya effort yang luar biasa untuk pantang mengeluh saat tersakiti, atau dalam kondisi yang tidak nyaman dalam jangka waktu yang lama.  Namun, sebagai manusia biasa tetap membutuhkan penyaluran keluh kesah. 

Tanggung jawab sosial kita sebagai pribadi-pribadi tangguh, ternyata bukan hanya memanage sikap positif untuk tidak menjadikan mengeluh sebagai kebiasaan, tetapi juga berupaya menciptakan kondisi yang membuat kita semua tak mudah mengeluh.

Temukan Sisi Positif

Agar mengeluh tidak menjadi kebiasaan, kita sebaiknya selalu berusaha menemukan sisi positif di setiap hal yang kita hadapi.  Seburuk apapun.  Meyakinkan diri bahwa setiap momen tidak pernah sia-sia, adalah penting buat kita.  Contoh nyata, misalkan seorang suami yang selalu merasa diteror oleh istrinya.  Apa yang dilakukannya serasa tak pernah layak.  Yang didapat hanya kecerewetan, omelan, dan hal-hal yang terasa kurang mengenakkan. Pantaskah ia mengeluh?... Dalam kondisi buruk seperti ini, sang suami lalu berusaha menemukan sisi positif.  Mengubah cara pandang.  Kecerewetan, omelan, dan sikap istri yang terlihat tidak kooperatif adalah hal yang nampak.  Namun apakah yang dapat ditemukan di balik itu semua?.... Bayangkan kalau istri sudah diam saja. Tidak ada cerewet, tidak ada omelan, tidak ada respon. Artinya sang istri sudah tidak perduli lagi.  Kecerewetan, omelan, dan sikap tak enak yang muncul itu adalah manifestasi dari bentuk kepedulian seorang perempuan, ekspresi perempuan yang sering ditangkap berbeda maknanya oleh lelaki karena tidak berada di frekuensi yang sama. 

Sisi positifnya adalah, bahwa ada satu poin yang harus diupayakan sang suami, yaitu bagaimana sedapat mungkin ia menyamakan frekuensi dengan sang istri, sehingga manifestasi sikap yang muncul akan berbeda.  Atau, setidaknya sebagai lelaki dia bisa lebih paham ketika manifestasi sikap itu muncul lagi.  Jadi, tidak ada yang perlu dikeluhkan.  Sebaliknya, seorang istri sebagai perempuan mudah tersentuh perasaannya.  Ketika suaminya mengambil sikap lebih mendengarkannya, perasaannya akan lebih memunculkan kasih sayang.  Intinya, suatu hal yang disikapi secara positif akan menghasilkan hal yang positif juga.  Cara berpikir kita, bagaimana kita mengembangkan hal-hal dalam pikiran kita, serta apa yang kita pikirkan, adalah dasar dari segala tindakan dan kata-kata kita.  Ketika tindakan itu dilakukan berulang, akan menjadi karakter.  Maka, jangan main-main dengan sudut pandang. Jangan main-main dengan apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita memikirkannya.  Itu adalah dasar dari munculnya karakter.

Karakter yang positif akan mendorong kita untuk maju.  Sudut pandang yang selalu mencari sisi positif akan menghalangi kita mengeluh.  Malah, rasa syukur akan lebih banyak muncul dari sanubari.  Sebab, rasa syukur itu muncul dari dalam jiwa, ketika kita merasakan bahwa banyak hal ternyata yang jika dilihat seksama dalam sudut pandang positif, adalah nikmat yang tidak terkira.  Bahkan rasa sakit pun akan menjadi anugerah yang akan kita syukuri, bukan kita keluhkan, ketika kita paham bahwa rasa sakit itu membuat kita menyadari rasa sehat dan bahagia yang pernah dirasa namun luput karena alpa. 

Ciptakan Pilihan-Pilihan

Setelah terbiasa menemukan sisi positif, kita tertantang untuk dapat menciptakan pilihan-pilihan yang positif.  Misalnya ketika dihadapkan pada kondisi tidak mengenakkan yaitu pada saat anak sakit keras, suami sedang bertugas di luar negeri dan belum dapat pulang dengan segera, tidak ada kerabat dekat, dan kondisi fisik Anda sendiri juga sedang kurang fit.  Pertama, temukan sisi positif.  Sisi positifnya adalah sebagai seorang ibu anda sedang diuji.  Mampukah anda melakukan yang terbaik bagi anak anda, dalam segala keterbatasan yang ada.  Meyakini bahwa Tuhan Maha Penolong dan seseorang tidak akan diuji Tuhannya lebih dari batas kemampuannya, akan menjadi dasar pijakan anda.  Maka hal utama yang patut ditanamkan adalah bahwa anda akan mampu menghadapinya dengan pertolongan Tuhan. 

Setelah menemukan sisi positif, bantu diri anda untuk menciptakan pilihan-pilihan yang memudahkan anda untuk konsisten.  Dari contoh di atas, maka pilihan-pilihan  positif yang muncul ada beberapa.  Pertama, Anda harus sehat dan kuat sehingga bisa survive dan melakukan yang terbaik.  Kedua, Anda akan fokus pada anak anda terlebih dahulu, bersabar dan berupaya semaksimal mungkin untuk kesembuhannya, baru kemudian memfokuskan diri pada hal lain. Ketiga, Anda akan berusaha sekuat tenaga mengatasi semua hal yang terjadi di depan anda, sampai suami anda pulang dan ada partner berbagi. Itulah antara lain pilihan-pilihan positif yang akan muncul.  Anda mampu menciptakannya apabila anda berpikir positif.  Sebaliknya, jika Anda terlalu dibawa perasaan, Anda akan cenderung mengeluh terus menerus pada suami, yang membuatnya menjadi tidak tenang. 

Dengan menciptakan pilihan-pilihan positif, kita akan makin terbiasa berpikir positif.  Sederhananya, menciptakan pilihan-pilihan positif adalah langkah lanjut yang implementatif ketika kita telah menemukan sisi positif dari setiap hal yang terjadi dalam kehidupan kita.


Tak ada Kata Menyerah

Akhirnya, tidak ada kata menyerah untuk melangkah maju. Berhenti mengeluh, banyak bersyukur, dan mulailah untuk bergerak ke muka.  Maju bukan hanya untuk kamu muda yang belia.  Setiap pribadi yang masih bernafas seyogyanya selalau berpikir dan bertindak untuk lebih maju.  Lebih baik, lebih dewasa, lebih bijaksana, lebih kreatif, dan lebih manusiawi, adalah pilihan setiap pribadi.  Maju bukan cuma semata bertambah pintar dan kaya harta benda, tetapi jauh lebih ke depan dari itu.  Ketika kita bertambah ilmu tetapi tidak menggunakan ilmu itu untuk kemaslahatan umat, artinya kemajuan yang kita dapat tidak bermakna.  Itu maju yang semu. Maju yang hakiki adalah apabila segala hal yang positif mampu menjadikan kehidupan lebih mulia dan bermakna. (Opi).

Juga ditulis di www.kompasiana.com/novi.ardiani

Selasa, 22 Desember 2015

Ibu Produktif dan Profesional? Mustahil tanpa Menjadi Pembelajar


Tantangan nyata di hadapan para ibu era kini adalah menjadi ibu yang produktif dan profesional.  Produktif artinya mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara berkesinambungan.  Profesional artinya melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Produktif dalam arti luas bukan semata diukur dari materi atau uang yang dihasilkan, namun lebih pada “nilai manfaat” bagi keluarga dan masyarakat. Jika berbicara “nilai manfaat”, maka uang dan segala materi sudah tercakup ke dalamnya.  Selain itu, “nilai manfaat” juga memuat manfaat intangible lainnya yang tak terukur dengan uang, yang sering kita definisikan sebagai priceless.  Tak salahlah bila menjadi produktif dan profesional adalah salah satu jalan ibu untuk meningkatkan kemuliaan hidup.  Itu semua mustahil dicapai seorang ibu tanpa menjadi seorang pembelajar. Mengapa demikian?.....

Jawabannya saya temukan dalam Talkshow dan Launching Buku “Bunda Produktif: Catatan Ikhtiar Menjemput Rizki”, yang diselenggarakan oleh Institut Ibu Profesional (IIP) pada peringatan Milad nya yang ke 4 tahun.  Digelar di Depok, talkshow ini menghadirkan empat narasumber yang mewakili Ibu Produktif dan Profesional dengan karakteristik masing-masing. Keempat ibu tersebut adalah Bunda Sari Indra Dewi (Pembina IIP Depok dan owner Rumah Aqsho -butik busana muslimah), Bunda Wulandari Eka Sari Suroso (konsultan keuangan), Bunda Madya Harmeka (Ketua Komunitas Tangan Peduli Lingkungan (TaPe uLi), yang bergiat di pengelolaan sampah rumah tangga, bank sampah, dan pengembangan produk kreatif daur ulang sampah), dan Bunda Sri Suparwati (seorang crafter yang inspiratif).

Mula-mula saya terpekur ketika Bunda Sari menuturkan kisahnya memulai bisnis busana muslimah, bertahun-tahun lalu sebelum usahanya eksis seperti sekarang.  Kendala utama yang dirasakan beliau saat memulai bisnis adalah ‘terlalu idealis’. “Saya inginnya punya brand sendiri, penjahit sendiri, dan belanja bahan sendiri.  Tetapi setelah menjalani barulah saya menyadari itu tidak mungkin, saya harus punya tim”.  Bunda Sari melewati jalan untuk menjadi produktif dan profesional dengan proses belajar. Pun, juga belajar bahwa setelah menghasilkan, tanggung jawabnya akan bertambah yaitu terhadap kelangsungan usaha dan penghidupan para karyawannya.  Belajar untuk mampu lebih kreatif, lebih percaya diri, dan selalu berupaya meningkatkan kualitas diri, itulah yang dijalani Bunda Sari waktu demi waktu.  


Apa jadinya jika Bunda Sari tidak menjadi seorang pembelajar ketika menjalankan bisnisnya?.... Mungkin, kita tidak akan pernah mengenal Rumah Aqsho sekarang.  Dan nyatanya, tidak mudah menjadi seorang pembelajar yang tangguh. Seorang pembelajar tidak mudah menyerah dalam berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat-bakat terbaiknya.  Untuk memutuskan akan menekuni bisnis busana muslimahpun, itu sudah melalui proses seorang pembelajar.  Sebelumnya, Bunda Sari sempat mencoba berjualan berbagai macam produk mulai dari Tupperware hingga lampu kristal, didorong oleh keinginan memiliki barang-barang yang tidak ada budget pengeluarannya dari nafkah yang diberikan suami. 

Maka, menjadi ibu pembelajar itu mutlak, tak dapat ditawar-tawar lagi, ketika ingin mewujudkan produktifitas dan profesionalisme. Marilah lebih dulu kita tilik, makna pembelajar.  Apa sih manusia pembelajar?..... Andrias Harefa  dalam bukunya “ Menjadi Manusia Pembelajar”  (Penerbit Buku Kompas, 2000; hlm.30-31) menuliskan bahwa manusia pembelajar adalah manusia yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting.  Pertama,  berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti: Siapakah aku ini?; Dari mana aku datang?; Kemanakah aku akan pergi?; Apa yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?; dan Kepada siapa aku percaya? Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang “bukan dirinya”.


Produktifku dan kamu: Beda!

Penuturan Bunda Wulan, narasumber yang kedua dalam talkshow ini, semakin menguatkan bahwa untuk menjadi produktif dan profesional, seorang ibu haruslah menjadi pembelajar yang tangguh.  Pertama, beliau mengingatkan bahwa yang utama adalah peran sebagai istri dan ibu.  Barulah setelah itu, para ibu seyogyanya menemukan style masing-masing untuk bisa menjadi produktif dan profesional.  “Temukan potensi Anda masing-masing, yang unik, tidak sama dengan orang lain.  Ada orang yang passion nya menghasilkan produk, ada yang marketing, ada yang konsultan, masing-masing memiliki potensi,” ujar Bunda Wulan. 

Dalam hal ini, Bunda Wulan berpesan agar berhentilah membandingkan diri kita dengan orang lain. Melalui proses belajar, kita akan menemukan di mana potensi kita, bagaimana style kita, dan itu merupakan aset dalam diri kita yang harus digali dan dikembangkan untuk menjadi produktif dan profesional.  “Benchmarking boleh dan perlu, tetapi fokuskan pada yang sifatnya kualifikasi dan bukan materi,’ kata Bunda Wulan. 

Bunda Wulan menjelaskan, ada orang yang memang bakatnya menjadi karyawan.  Ketika mencoba untuk berdagang atau melakukan usaha lain, selalu gagal.  “Ya tidak usah dipaksakan, sesuaikan saja dengan karakter,” imbuhnya.  Bunda Wulan menjelaskan bahwa istilah karyawan yang digaji memang belum ada pada zaman Rusulullah. Pada era Kalifah Abu Bakar barulah ada konsep pekerjaan layaknya karyawan seperti sekarang, yaitu orang yang digaji oleh sebuah organisasi.

Hal penting yang tidak boleh dilupakan untuk menjadi produktif dan profesional menurut Bunda Wulan, selain menjadi diri sendiri, adalah membangun silaturahim dan selalu belajar serta upgrading tanpa henti. “Tidak lupa selalu berpikir positif karena ini akan membangun psikologis yang positif serta energi positif sehingga membuat sehat,” tambah Bunda Wulan.  Tak henti melakukan upgrading dan positive thinking adalah ciri manusia pembelajar.  Apabila seorang ibu mampu menerapkannya, Insha Allah rangkaian kata “ bisnis hebat, rizqi manfaat, keluarga dekat’, akan menjadi kenyataan yang indah.


Produktif: Mulai dari yang Dekat!


Darimana kita memulai untuk menjadi produktif dan profesional?... Bunda Madya Harmeka memilih untuk memulai dari yang dekat. Beliau memilih “sampah rumah tangga” yang setiap hari dihasilkan oleh setiap keluarga sebagai awal kiprah yang berujung manfaat. Produktif?... Nyata-nyata YA!  Setelah bertahun-tahun bergumul, setidaknya kini pengelolaan sampah rumah tangga yang digalakkannya mulai menular ke mana-mana. Bank Sampah yang digagas untuk solusi manajemen sampah rumah tangga, mampu menstimulus bergeraknya produksi pupuk organik dari sampah organik serta menggeliatnya produksi kerajinan berbahan baku daur ulang (ecocraft).

“Untuk menjadi produktif, kita bisa memulai dari yang dekat. Walaupun untuk menjadi produktif, menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara sinambung, itu tidak instan, memerlukan waktu dan proses pembelajaran dari waktu ke waktu,” tutur Bunda Madya. 

Terlebih lagi, upaya yang dilakukan Bunda Madya adalah upaya yang sifatnya bertujuan mengubah perilaku manusia.  Yang tadinya kurang peduli, menjadi lebih peduli terhadap lingkungan. Yang tadinya tidak mau memilah sampah, menjadi sadar untuk memilah sampah dengan ridho.  Ini seperti menumbuhkan cinta dan rasa.  Cinta dan rasa yang mampu mengubah perilaku.  Tentu saja ini tidak dapat diukur dalam hitungan satu atau dua tahun.  Hal yang sifatnya mengubah perilaku harus menyentuh cara berpikir seseorang, sehingga merubah mindsetnya.  Dan bayangkanlah seberapa luas nilai manfaatnya jika kita mampu membuka kesadaran ribuan manusia untuk lebih peduli pada lingkungan dan lebih peduli pada pengelolaan sampah rumah tangga. 

Untuk membuka kesadaran peduli lingkungan, mungkinkah dilakukan oleh seorang yang bukan pembelajar?... Nyaris tidak mungkin! Dalam prosesnya, kita harus selalu belajar.  Belajar memahami berbagai karakter manusia, belajar berbagai pendekatan untuk sosialisasi, dan belajar untuk tidak menyerah ketika lebih banyak orang tidak peduli.  Bukan hanya sekedar pembelajar yang dibutuhkan, tetapi pembelajar yang tangguh. 




Produktif untuk Survive!

Pengalaman narasumber Sri Suparwati, mungkin yang paling membuat trenyuh perasaan saya sebagai pengunjung talkshow.  Beliau adalah ibu satu anak, yang semula bekerja sebagai staf di sebuah lembaga pendidikan tinggi di Jakarta. Nasib merubah seluruh keseharian hidupnya.  Di usianya yang ke 37 tahun, Bunda Wati -begitu ia biasa disapa- melahirkan untuk pertama kalinya, lalu berhenti bekerja kantoran untuk memfokuskan diri mengasuh bayinya. Hal terburuk yang terjadi adalah ketika pasangan hidupnya meninggalkan Bunda Wati, membawa seluruh harta benda, tanpa tersisa.  “Dia memilih pergi dengan perempuan lain, dan membawa semua harta benda, ” ujar Bunda Wati menjawab pertanyaan saya dalam perbincangan santai usai talkshow berlangsung.

Untuk menopang hidup dan membiayai anak semata wayangnya, Bunda Wati mengembangkan usaha yang berawal dari hobinya membuat berbagai macam kerajinan tangan seperti boneka, bros,wadah-wadah perabot rumah tangga, dan hiasan rumah.  Beberapa diantaranya dibuat dari bahan-bahan sisa seperti kain perca, koran bekas, dan botol-botol minuman kemasan.  Bunda Wati pun menjadi produktif untuk bisa survive menghidupi diri dan anaknya. “Alhamdulillah, bisa untuk bayar kontrakan rumah, membiayai anak sekolah, dan makan kami,” ujarnya.  Dengan suka cita Bunda Wati menunjukkan beberapa hasil kerajinannya kepada pengunjung talkshow

Saya tak dapat menahan haru, saat mengetahui usia anak Bu Wati saat ini sudah 13 tahun.  Artinya, selama itu pula ia berjuang untuk survive. Selama itu pula ia produktif. Selama itu pula ia menjadi pembelajar yang tangguh.  Bunda Wati tidak bergerak sendiri.  Ia merangkul banyak perempuan untuk bergabung membuat kerajinan, agar dapat memenuhi permintaan pasar.  Namun, seringkali Bunda Wati dihadapkan pada etos kerja yang tidak sejalan dengan kebutuhan dinamika zaman.  “ Modal membuat kerajinan ini hanyalah kemauan dan kesabaran.  Tidak perlu pintar.  Semua bia dipelajari caranya. Tapi sayang, kadang sudah diajak, orangnya lebih suka ngobrol-ngobrol daripada bikin beginian, “ kata Bunda Wati.  Tak kuasa, saya memeluk erat Bunda Wati, seolah alam bawah sadar saya menginginkan untuk menyerap semangat dan jiwa pembelajar tangguhnya. 

Tiba-tiba saya pun teringat, suami saya pernah berkata bahwa begitu banyak orang menyikapi sebuah perbedaan dengan debat, tetapi berapa banyak orang yang menyikapinya dengan sebuah pemikiran positif. Berapa banyak orang yang berusaha menemukan sisi baik dari setiap hal, hal yang buruk sekalipun.  Ini sebagaimana yang dialami Bunda Wati.  Karena setiap momen tidak pernah terjadi untuk sia-sia, maka saya ingin mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan pendapat tentang kiprah perempuan dan ibu dalam area non domestik akan selalu ada. Bukan itu yang kita cari.  Tapi sebaiknya lebih memfokuskan pada “menjadi produktif dan profesional versi kamu” , karena setiap perempuan/ibu punya potensi dan karakteristik masing-masing.  Punya jalan hidup dan passion masing-masing. No comparison. Dan tidak satupun berhak untuk menilai bahwa yang satu lebih mulia dibandingkan yang lain.  



Sebuah pelajaran berharga tentang produktif versi masing-masing narasumber dalam talkshow ini membuka pikiran saya tentang satu hal. Bahwa tanpa menjadi pembelajar yang tangguh, mustahil seorang ibu bisa menjadi produktif dan profesional. Ibu pembelajar yang tangguh adalah sebuah keniscayaan.  Dalam hal ini ibu membutuhkan dukungan penuh dari suami dan keluarga. Ibu perlu diberi kepercayaan dan kesempatan untuk menjadi produktif dan profesional. Sebab, dampaknya akan terasa bagi keluarga dan lingkungan.  Ibu pembelajar akan menularkan virus pembelajar sehingga akan terbit manusia-manusia pembelajar dalam lingkungan yang senantiasa dinamis.  Semoga. Tetap semangat ibu-ibu....untuk menjadi lebih produktif dan profesional! (Opi)


#IbuProfesional, #IIPDepok, #Milad4Tahun, #BundaProduktif, #IbuProfesionalDepok

Kamis, 04 Juni 2015

Manajemen Jenuh: Tetap Produktif Saat Suntuk

Rutinitas pada batas periode tertentu menerbitkan rasa jenuh. Beban pikiran, fisik, dan mental yang melampaui batas pada titik tertentu juga memicu suntuk.  Namun pada saat yang sama hidup harus terus berjalan, semangat tidak boleh pudar, dan tujuan harus tetap pasti.  Itu prinsip saya.  Anda mungkin sepakat bahwa kita semua perlu manajemen saat jenuh, yang membuat kita tetap dapat produktif walaupun merasa suntuk. Bisa berbeda untuk individu dengan aktifitas yang berbeda, namun prinsipnya sama: jangan biarkan jenuh mematikan kreatifitas dan jiwa berkarya.
A. Tanda Tanda Jenuh dan Suntuk
Tidak bersemangat melakukan pekerjaan, sulit berkonsentrasi, dan tidak ada ketertarikan terhadap objek mungkin merupakan tanda-tanda bahwa kejenuhan sudah menghinggapi Anda.  Mudah mengantuk, merasa ingin mengalihkan perhatian dari objek yang ada di depan Anda, atau membayangkan hal-hal di luar yang sedang Anda kerjakan juga mungkin pertanda Anda sudah suntuk.
Dalam kadar yang lebih berat, ketika Anda sudah berada pada kejenuhan level tinggi, mungkin Anda akan merasa malas setiap bangun tidur membayangkan akan melakukan aktifitas yang itu-itu lagi hingga berakhirnya hari.  Berhati-hatilah, jika sudah merasakan yang seperti itu, tandanya Anda sudah terlalu lama membiarkan kejenuhan berlarut-larut menghinggapi diri.  Anda perlu segera antisipasi.  Lalu, bagaimana caranya?....
B. Identifikasi sebab spesifik kejenuhan
Pertama, Anda wajib tahu betul penyebab kenapa Anda jenuh dan suntuk.  Mengapa penyebab kejenuhan dan rasa suntuk perlu diidentifikasi secara spesifik terlebih dulu? Tujuannya sederhana, segala sesuatu yang diketahui secara spesifik penyebabnya akan lebih mudah ditangani dengan treatment yang sesuai dengan sebabnya. Jenuh karena pekerjaan kantor yang itu-itu saja tanpa tantangan baru, akan berbeda cara penanganannya dengan jenuh aklibat kehidupan yang hambar dalam rumah tangga.
Dalam beberapa hal, Anda mungkin mengalami kesulitan mengidentifikasi penyebab kenapa Anda merasa suntuk dan jenuh, karena bisa jadi penyebabnya adalah kombinasi dari banyak hal yang bertumpuk-tumpuk menjadi satu.  Mungkin pekerjaan sangat banyak tapi membosankan sebab isinya melulu hal sama yang Anda kerjakan selama bertahun-tahun. Dan pekerjaan yang sudah terasa membosankan itu masih harus dipadukan dengan hubungan interpersonal yang juga di titik jenuh antara Anda dan pasangan. Atau, bisa jadi kejenuhan malah bertambah karena hasil penanganan yang salah dari kejenuhan terdahulu.
Bagaimana Anda bisa tahu persis sebab kejenuhan?... Sederhana saja.  Saat merasa jenuh, coba Anda jawab dengan jujur, hal apa yang paling Anda inginkan saat perasaan jenuh itu hinggap?... Sebagai contoh, Saya pernah merasa sangat malas berangkat ke kantor.  Pekerjaan yang begitu-begitu saja tanpa adanya tantangan baru membuat saya ingin lari dari hadapan tugas-tugas itu.  Saya menilai, tidak ada pencapaian membanggakan dari apa yang saya kerjakan dengan rutin dan penuh dedikasi. Nah, mulanya saya tidak menyadari hal tersebut.  Karena dalam pandangan rekan kerja dan atasan, saya telah menunjukkanattitude yang baik, tidak ada masalah dengan hasil pekerjaan saya.

Sampai akhirnya, selain merasa malas ke kantor, saya mulai tidak fokus saat di kantor.  Saya mencuri-curi waktu untuk melakukan hal-hal yang saya sukai pada jam kerja.  Kebetulan saya suka menulis, maka saya mengalihkan perhatian saya pada kegiatan tulis menulis bahkan saat jam kerja! Pada saat saya berhasil menyelesaikan satu tulisan yang telah memuat seluruh apa yang ada di pikiran dan hati saya, saya merasa puas.  Lalu secara tidak sadar, saya kembali pada pekerjaan saya dengan semangat.  Barulah saya mulai menyadari bahwa saya jenuh dengan pekerjaan saya bukan semata-mata karena pekerjaan itu memang menjemukan bagi saya.  Melainkan karena sebagai pribadi, saya memiliki target achievement yang mana itu ternyata tidak seluruhnya dapat diterapkan di lingkungan tempat kita bekerja. Nah akhirnya saya sadar penyebab kejenuhan itu ada dari dalam diri saya sendiri.
Itu hanya contoh kecil.  Anda bisa menggalinya sesuai dengan yang Anda alami.  Misalnya, jika Anda seorang muslim, dan sebanyak lima kali pergi ke masjid untuk menunaikan sholat wajib lima waktu berjamaah setiap hari, dalam hitungan bulan mungkin Anda akan merasa jenuh.  Apakah dengan jenuh itu Anda akan berhenti pergi ke masjid untuk sholat berjamaah dan memilih untuk sholat sendiri saja di rumah?... Tentu tidak demikian.  Anda hanya perlu menelisik lebih dalam, bagaimana rutinitas itu dapat selalu memberikan hikmah dan nuansa baru dalam jiwa dan hidup Anda. Mungkin Anda bisa ke masjid melalui jalan yang berbeda, dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan berselingan, atau tajamkan hati setiap saat untuk mendapatkan inspirasi baru dari sholat berjamaah di masjid.
C. Rencanakan dan Lakukan Hal yang Berbeda, Beri Warna, dan Ambil Tantangan Baru
Saya tidak menyarankan Anda selalu harus berhenti melakukan aktifitas yang menjadi sebab kejenuhan Anda.  Anda hanya perlu melakukan sedikit saja pengalihan, pembaharuan, dan pembubuhan warna baru dalam detil aktifitas itu. Jika selama ini pekerjaan rutin membuat Anda bosan, coba beri warna baru dalam satu atau dua bagian di dalam pekerjaan rutin itu.  Bagi Saya, menyelingi beberapa laporan dengan membuat dua atau tiga bait puisi- atau menelpon anak-anak di rumah sekedar mendengarkan suara bocah yang riang- bisa mengusir jenuh level rendah.
Namun ada kalanya, Anda juga perlu untuk berhenti sejenak dan merencanakan serta melakukan hal yang berbeda sama sekali ketika jenuh itu sudah meningkat.  Tapi ingat, jangan asal beda. Prinsipnya, setiap waktu kita adalah berharga. Jenuh bukan alasan untuk diam, tak menghasilkan. Kegiatan yang berbeda, dan bernilai guna bagi sesama, itulah yang harusnya menjadi pengalihan saat jenuh.  Saat saya jenuh dengan pekerjaan saya, saat ide-ide yang dihasilkan melalui usaha yang tidak mudah, lalu mental membentur tembok oleh kepentingan yang di luar batas kewenangan saya, saya mengambil langkah “lakukan aktivitas lain yang membuatmu bermanfaat bagi sesama”.
Saya memilih untuk memberi ruang gerak pada otak kanan saya untuk berkreasi, karena pekerjaan saya menyita lebih banyak otak kiri.  Terjun ke kegiatan kemasyarakatan nirlaba dengan menjadi relawan adalah pilihan saya.  Membuat brosur, materi sosialisasi, dan cuap-cuap untuk bidang keahlian yang sudah saya tekuni di bangku kuliah, memang tidak memberikan keuntungan secara materi pada saya.  Tapi itu sebetulnya tak terbayar.  Kepuasan karena ada banyak hal yang saya miliki masih bermanfaat bagi sesama, adalah bayaran yang paling tinggi untuk seorang relawan.  Karena saya merasakan betapa mahalnya pendidikan dan harus dapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi (jika tidak, saya tidak bisa kuliah) maka saya sangat senang bisa menjadi relawan di bidang pendidikan.
Dalam kasus kejenuhan model ini, saya sebagai subjek merasa tidak berguna di tempat saya bekerja, kasarnya seperti itu.  Tetapi sesungguhnya sumber daya dalam diri saya membuktikan bahwa saya masih berguna kok.  Dengan mengembalikan kepercayaan diri bahwa kita memang bermanfaat, setidaknya akan melawan aksioma yang ada.  Sekaligus, saya tetap bisa produktif, tetap menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Kadang, malah menambah teman, relasi, dan memperluas wawasan pergaulan yang sehat.

Jadi, saat jenuh jangan diam.  Ambil tantangan baru dengan melakukan hal-hal yang selama ini Anda pikir tidak akan bisa Anda lakukan. Selama itu positif, lakukan.  Lakukan sesuatu yang di luar kebiasaan, untuk variasi.  Atau lakukan selingan kegiatan yang tidak pernah sempat Anda lakukan saat Anda dibebani rutinitas pekerjaan.  Saya tidak pernah suka  olahraga lari dan berenang.  Tapi saya pernah mencoba melakukannya dengan pasangan dan anak-anak untuk sejenak mengalihkan diri dari kejenuhan.  Hasilnya?  Saya merasakan betapa berartinya mencurahkan kasih sayang kepada keluarga dalam kondisi apapun.  Dan itu menjadi kekuatan yang besar untuk melawan atau lari dari jenuh.  Motivasi baru pun lahir.  Suasana dan warna baru dari jiwa dan batin kita akan muncul.  Mau coba?... Percayalah it works!
D. Temukan Passion Anda
Penting sekali untuk menemukan di mana passion Anda. Kegiatan yang menjadi passion Anda adalah kegiatan yang dapat Anda lakukan dengan sukacita penuh gairah dan semangat dan Anda tidak pernah merasa rugi melakukannya walaupun tidak dibayar dengan materi atau apapun.Passion saya ada di dunia tulis menulis, dan cuap cuap.  Ketika tulisan saya dibaca banyak orang dan memberikan manfaat bagi orang yang membacanya, di situ letak kepuasan saya. Jika tulisan saya menang lomba, itu menjadi kepuasan tersendiri juga walaupun misalnya hadiahnya tidak berupa materi.  Saat Anda telah menemukan dimana letak passion Anda, berbahagialah.  Sebab, passion sangat berguna ketika kejenuhan itu melanda, sebagai alternatif pengalihan.
Orang-orang yang kebetulan dalam pekerjaannya bukan berada di wilayah passionnya, dan suatu saat mengalami kejenuhan, bisa “switch” diri ke kegiatan-kegiatan yang menjadi passion dalam hidupnya.  Misalnya Anda seorang pekerja kantoran yang punya passion di dunia masak memasak.  Ketika jenuh, kenapa tidak mencoba untuk mencoba resep baru , berbagi, dan ikut kompetisi?.... Kenapa tidak?... Tidak menutup kemungkinan kita mengasilkan prestasi di bidang lain ketika kita sedang jenuh di satu bidang.  Jadi, saat jenuh pun sesungguhnya kita bisa tetap produktif.
E. Definisi Produktif Versi Anda
Ya, Anda tetap bisa produktif saat jenuh.  Namun, definisikan dulu produktif versi Anda sendiri.  Tidak perlu terpengaruh dengan orang lain.  Definisi produktif versi saya adalah jika setiap waktu Saya bisa melakukan hal yang bermanfaat bagi sesama.  Sekecil apapun.  Dan tidak melulu dalam bidang yang menjadi keahlian saya. Maka, ketika saya jenuh dengan pekerjaan kantor, saya beralih ke rumah, atau masyarakat.  Karena saat jenuh saya sering merasa tidak berguna di bidang itu, maka saya mengkompensasikannya ke bidang lain yang nyata-nyata membuktikan bahwa kita tetap bermanfaat bagi orang-orang yang kita sayangi dengan melakukan hal-hal yang juga bermanfaat.

Bagaimana dengan Anda?... Mungkin akan ada orang yang mendefinisikan produktif versi dirinya adalah ketika jenuh, tapi tetap bisa menyelesaikan 50% dari pekerjaan yang menjemukan itu.  Tidak masalah.  Itu tetap dalam kerangka “tidak diam” .  Tetap berupaya bahwa sisa potensi yang 50% digunakan untuk melakukan selingan dalam rangka untuk tetap berada di dalam rasa tanggung jawab.  Asalkan, jangan asal selingan.  Dan jangan asal beda.  Anda sendiri yang dapat menilai, apakah pengalihan Anda akan semakin menjerat diri dalam kejenuhan atau justru memberikan penyegaran.
F. Pilih Untuk Bahagia
Akhirnya, lepas dari seberat apapun kejenuhan yang melanda, setiap orang pasti pernah dan akan jenuh.  Masih dan masih akan suntuk.  Manusiawi.  Di tangan Anda sendiri faktor penentu apakah Anda akan berhasil atau gagal untuk menetralisir kejenuhan dan mengatasi suntuk.  Tapi yang paling penting, pilihlah untuk menjadi bahagia, apapun itu.  Percayalah bahwa Allah SWT telah menciptakan kita dengan segenap potensi yang ada di dalam masing-masing diri kita dengan seadil-adilnya.  Tidak ada yang kurang sedikitpun.
Kita hanya perlu banyak-banyak bersyukur.  Salah satu wujud rasa syukur itu adalah dengan memunculkan potensi yang ada, sehingga percaya saat jenuh melanda, ada sisi lain dari dalam diri kita yang masih bisa dimunculkan untuk meraih prestasi dan tetap produktif.





Rasa syukur itu akan memunculkan rasa bahagia.  Dan kadang, rasa syukur itu juga diwujudkan dengan cara yang kadang kita tak pernah benar-benar paham.  Pada satu waktu, mungkin kita akan mengalami di saat kita tidak tahu lagi harus melakukan apa dan hanya bisa bercakap-cakap denganNYA seraya berkata “ Ya Rabb, sesungguhnya aku bertahan, walau tak tahu seberapa kuat akan bertahan, semata-mata karena rasa syukurku kepada MU”.
Pilihlah untuk selalu bersyukur, untuk memunculkan rasa bahagia.  Karena menurut saya, itulah yang utama.  Anda sepakat dengan saya?....
**ditulis saat sedang jenuh dan alhamdulillah berhasil mengatasinya kembali.... alhamdulillahirabbil alamiiin.......
dapat dibaca juga di www.kompasiana.com/novi.ardiani

Profesionalisme Terintegrasi Seorang Ibu: Ini Versi Saya

Profesional bukan cuma buat jenis-jenis pekerjaan di ranah publik. Menjadi ibu yang berkiprah di ranah domestik maupun di ranah pu...