Ibu yang memilih untuk tetap bekerja di luar rumah dan
meninggalkan anak-anak lebih dari 12 jam setiap harinya dihadapkan pada risiko
terbesar dalam hidup. Risiko itu adalah keterbatasan waktu dan energi serta
pikiran untuk memantau tumbuh kembang anak pada masanya yang akan berdampak serius
pada masa depan generasi. Dan setiap ibu
yang memilih untuk mengambil risiko itu harus yakin benar bahwa ia mampu
memanage risiko itu sehingga mampu mencegah atau meminimalisir terjadinya akibat
yang tidak diinginkan. Manajemen risiko
bagi ibu bekerja, niscaya adalah sebuah keniscayaan.
-----------------------------
Sebagai
muslimah, saya meyakini bahwa Islam tidak melarang kaum perempuan untuk
beraktifitas di masyarakat, bekerja dalam rangka membantu perekonomian keluarga
dengan izin suami, ataupun masuk ke dunia politik dan mengungkapkan
gagasan-gagasanannya. Saya percaya Islam
tidak melarang kaum perempuan untuk memiliki harta benda, berusaha pada bidang
perekonomian atau kegiatan apapun demi menunjang pengembangan diri, keluarga,
dan masyarakat terutama masyarakat muslim dengan ukuran kemaslahatan umat. Meski demikian, tugas utama seorang muslimah adalah
menjadi ibu yang teladan bagi anak-anaknya dan menjadi istri solihah yang setia
bagi suaminya. Tidak ada satupun yang
boleh menjadi penghalang bagi tugas perempuan yang utama ini. To be a lovely
mom and wife is a every woman’s dream.
Pada
kenyataannya, seorang muslimah yang telah menikah dan melahirkan anak-anak,
serta atas dasar pertimbangan bersama pasangan akhirnya memilih untuk tetap
bekerja diiringi izin dari suaminya, mau atau tidak mau harus berani mengambil risiko
atas tumbuh kembang anak-anaknya.
Kenyataan itu pula yang saya hadapi.
Dan harus dihadapi. Bukan dengan
modal nekat. Kita- para ibu bekerja-
harus punya modal yang cukup untuk memanage
risiko yang dihadapi, rechargeble energy,
mental baja, dan asa yang tidak pernah putus! Kita- para ibu bekerja- bukanlah
manusia-manusia super yang memiliki itu semua dengan lengkap di dalam jasad
multiseluler ini. Kita- para ibu
bekerja, kebetulan hanyalah manusia biasa yang menjalani taqdir dan
pilihan-pilihan hidup satu paket dengan rasa syukur dan ikhtiar serta doa. Dan kita- para ibu bekerja- secara sadar
berada dalam dinamika hidup yang tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan
manusia, melainkan juga atas kehendak Yang Maha Kuasa.

Kita
semua tahu, bahwa risiko adalah bahaya, akibat, atau konsekuensi yang dapat
terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan
datang. Risiko dapat juga diartikan
sebagai suatu keadaan ketidakpastian, yaitu apabila terjadi suatu keadaan yang tak
dikehendaki dapat menimbulkan suatu kerugian.
Secara umum, tahapan manajemen risiko yang biasa dijalankan dimulai dengan identifikasi
yang dilanjutkan dengan pengukuran risiko. Jika telah teridentifikasi dan terukur risiko
tersebut, kita lalu dapat memetakan dan memantaunya. Lebih jauh, kita akan mampu melakukan
pengendalian terhadap risiko tersebut, bahkan mengevaluasinya untuk langkah
lebih lanjut.
Saya
mulai menyadari bahwa manajemen risiko bagi ibu bekerja itu mutlak diperlukan,
ketika bayi pertama kami lahir. Semua
ibu bekerja tahu betul bagaimana rasanya ketika hari pertama kembali bekerja
setelah cuti melahirkan berakhir itu dijalani. Tidak akan pernah terlupakan
rasanya sepanjang hidup. Bagaimana
rasanya meninggalkan bayi yang sembilan bulan lamanya berada di rahim kita, untuk
berangkat ke kantor, dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Bagaimana
rasanya bibir ini mampu tersenyum memandangi foto buah hati kita saat memerah
ASI di kantor, bercampur dengan rasa kuatir yang susah payah berusaha dilindas
dengan sejumput doa yang tak pernah putus.
Ketika
anak-anak semakin besar, setiap jam istirahat kita mungkin tak bisa menyuap
makan siang dengan nikmat sebelum menelepon anak-anak kita dan meyakinkan
mereka sudah makan siang serta dalam keadaan baik-baik saja. Mendengarkan celoteh anak-anak melalui
percakapan di telepon selalu menjadi mood
booster saat bekerja. Demikian juga ketika ibu pulang dan disambut dengan
suara riang anak-anak, membuat sirna semua lelah dan penat ibu.
Ibu
bekerja secara alami akan mampu mengidentifikasi risiko yang dihadapi. Mulai dari risiko kehilangan waktu
kebersamaan fisik, kesempatan mencurahkan kasih sayang dalam bentuk kehadiran
fisik, penolakan anak karena merasa tidak diperhatikan, anak merasa diabaikan,
dan tantrum anak berlebihan. Risiko lainnya seperti judgement publik kepada ibu bekerja bila anaknya bermasalah, perkembangan
anak akibat berganti-ganti pengasuh, hingga perasaan bersalah yang berlebihan
pada diri ibu, patut dipertimbangkan.

Itulah
risiko yang dihadapi ibu bekerja. Selama
anak-anak secara fisik tidak bersama kita-ibunya- banyak hal bisa terjadi. Baiklah mari kita coba mengukurnya. Risiko terbesar mungkin sama-sama kita
rasakan pada risiko yang secara langsung berdampak pada anak, yaitu yang berawal
dari keterbatasan kebersamaan fisik. Benar, bahwa ibu yang bekerja di kantor
bagaikan bermimpi di siang bolong jika ingin anak-anaknya selalu berada dalam
pelukan dan belaiannya pada jam kerja. Ketika
kita sudah dapat mengukur risiko-risiko yang dihadapi, kita lalu akan berusaha
untuk memetakan dan mengendalikannya.
Dengan
pemetaan risiko, kita paham mana risiko terbesar yang memerlukan fokus
pengendalian dan bagaimana cara mengendalikannya. Cara pengendalian risiko dapat dibedakan
menjadi dua yaitu pengendalian yang sifatnya menghilangkan atau mengurangi
risiko; dan pengendalian yang sifatnya menahan atau memindahkan risiko ke pihak
lain. Ambillah contoh, keterbatasan kebersamaan secara fisik ibu dengan anak. Ini bisa dikendalikan dengan mengurangi
keterbatasan. Bagaimana mengurangi keterbatasan? Bolehlah kita coba dengan meningkatkan
kualitas kebersamaan dalam kesempatan apapun yang ada, dan menambah kuantitas
serta kualitas kedekatan emosional sebagai penunjang kebersamaan fisik.
Kita
paham bahwa kebersamaan fisik itu penting, karena dengan hadir secara fisik
maka anak dapat merasakan sentuhan dan belaian ibu secara kasat indra. Tetapi kebersamaan fisik menjadi hampa ketika
ibu dan anak secara fisik bersama-sama tetapi tidak saling berkomunikasi,
menyentuh, memeluk, dan kontak mata. Ini
bisa terjadi pada anak-anak yang ibunya sepanjang hari berada di rumah, tetapi sang
ibu asyik dengan dunianya sendiri.
Mereka menyusui bayinya sambil memainkan handphone, atau membiarkan anak bermain sepanjang hari di rumah
tetangga padahal dengan sedikit effort
sebetulnya mampu menciptakan suasana bermain yang edukatif dan menghibur sesuai
perkembangan usia anak.

Perbedaannya
adalah, ibu bekerja menanggung double
risk dalam hal ini. Karena sang ibu
berjauhan secara fisik, maka publik cenderung lebih mudah beropini bahwa anak-anak
yang bermasalah dan ibunya kebetulan bekerja, maka masalah itu adalah salah
ibunya. Meskipun tidak selalu demikian.
Karenanya ibu bekerja harus punya mental baja dan energi yang selalu
harus diisi ulang untuk mengendalikan double
risk ini. Siapa sih yang ingin anaknya bermasalah?... Memangnya ibu bekerja
buat apa?... Buat apa bekerja demi anak kalau justru anak yang menjadi salah
satu “korban”.
Ini
beberapa tips yang sempat muncul di pikiran saya untuk pengendalian risiko yang
terkait dengan keterbatasan kebersamaan fisik anak-ibu bekerja:
1.
Tingkatkan Kualitas Komunikasi
Jangan patah
semangat ketika waktu pertemuan fisik kita dengan anak hanya tersisa beberapa
jam sepulang kantor dan setidaknya satu jam di pagi hari sebelum berangkat ke
kantor. Manfaatkan sebaik-baiknya dan
tingkatkan kualitasnya. Usahakan
disiplin pulang ke rumah tepat waktu, kalaupun terlambat biasakan itu karena
hal mendesak dan komunikasikan dengan anak-anak. Biasakan berkomunikasi dengan jujur kepada
anak-anak. Jika anak-anak masih balita,
katakan hal-hal positif dari dalam hati.
Tatap mata anak-anak kita dengan perasaan penuh perhatian saat
bercakap-cakap dengan anak-anak.
Percayalah kadang kita mengabaikan pentingnya bahasa tubuh. Padahal, itu
bekerja ampuh kepada anak-anak.
Usahakan temani
anak-anak di bawah usia 8 tahun menjelang tidur. Untuk balita, biasakan mendongeng dan
sisipkan nilai moral di dalamnya. Mulai
usia 6 tahun, kita sudah dapat mencanangkan waktu bercerita , yaitu ibu dan
anak saling bercerita mengenai keseharian setiap sebelum tidur. Ibu bisa menceritakan pernak-pernik di
perjalanan, di kantor, atau hal lain.
Sang anak pun bebas bercerita.
Dengan cara ini kita dapat mengencourage
anak-anak untuk mengungkapkan perasaan dan menyampaikan dalam kalimat yang
orisinil. Kita juga bisa menggali
kebutuhan anak dari sini. Pada prinsipnya, anak-anak butuh didengarkan. Tahan diri untuk memberikan nasihat. Bersikaplah responsif.
Ingatlah pula bahwa
di malam hari anak-anak telah lelah dengan kegiatan sehari. Jangan bebani mereka dengan nasihat-nasihat
kita yang panjang dan memekakkan telinga.
Tanyakan kepada mereka apa yang mereka inginkan. Jangan terkejut ketika sesungguhnya mereka
hanya ingin sekedar main kuda-kudaan dengan ibunya, atau minta ibu mendengarkan
hafalan Quran mereka. Mereka ingin
dipuji. Mereka ingin dihargai hasil
kerja kerasnya menghafal.
Yakinlah bahwa
kebersamaan yang singkat itu jika dilakukan secara teratur dan konsisten akan
membawa dampak yang positif bagi anak.
Anak akan menghargai ibu karena betapapun lelahnya ibu mereka sepulang bekerja,
masih bersedia bermain dengan mereka. Saya
paham bahwa tubuh anda akan terasa remuk redam karena lelah, tapi percayalah,
semua itu adalah tanggung jawab kita sebagai ibu yang harus dilaksanakan
sebaik-baiknya. Jangan menyerah!!!
2.
Kuatkan Kedekatan secara Emosional
Seorang ibu yang
bisa membuat anak-anaknya selalu teringat pesan dan kata-katanya walau sang
anak jauh darinya, adalah ibu yang sukses membuat anak dekat secara
emosional. Itu tidak terjadi dalam
hitungan hari. Butuh waktu dan upaya
yang konsisten. Ciptakan kondisi nyaman
dengan anak-anak lalu berbicaralah dengan mereka sambil mendekap atau memangku
sang buah hati. Jangan sedih bila ada penolakan pada anak. Cobalah pahami sebabnya. Biasanya penolakan terjadi karena anak tidak
merasa nyaman. Hanya anda yang tahu
betul anak-anak anda dan bagaimana menciptakan kondisi nyaman bersama mereka.
Jangan cukup puas
dengan balita Anda yang selalu ingat kata-kata Anda, kebanyakan balita masih
menganggap ibu adalah role model
terbaiknya. Jika Anda tidak konsisten,
ketika balita Anda tumbuh besar dan semakin luas pergaulannya, Anda akan
tersingkir jika tidak mampu terus menjalin kedekatan emosional. Pada tahap perkembangan usia yang
selanjutnya, cara menjalin kedekatan emosional dengan anak akan
berbeda-beda. Di sini kita sebagai ibu
harus terus belajar tentang ilmu parenting
dan perkembangan zaman. Mau tidak
mau harus siap. Siap terkuras waktu,
energi, dan pikiran. Semangat!!!
3.
Tumbuhkan Karakter Positif
Dalam setiap
kesempatan, ajari anak-anak untuk saling mendoakan. Tanamkan kekuatan doa yang besar, bahwa doa
mampu membuat kita pasrah sekaligus kuat.
Bahwa doa adalah penyambung keselamatan dari Yang Maha Kuasa saat ibu
dan anak tidak dalam keadaan bersama-sama.
Yakinkan anak bahwa selama ibu dan anak terhubung dengan doa, selama itu
pula kekuatan yang berasal dariNya akan melindungi mereka.
Tularkan dan
tumbuhkan karakter penuh semangat, positive
thinking, rasa percaya diri, dan empati kepada anak-anak kita. Caranya adalah dengan terlebih dahulu
menanamkan karakter itu pada diri kita. Biarkan
anak-anak usia Sekolah Dasar memahami bagaimana payahnya naik kendaraan umum ke
kantor, merasakan kemacetan lalu lintas, penuh perjuangannya membuat sebuah
presentasi yang bagus, dan pentingnya membagi waktu. Tunjukkan pada anak-anak kita bahwa semangat
mampu membuat kita lebih berenergi dengan cara selalu tersenyum walaupun
lelah. Anak-anak akan menangkapnya. Mereka adalah peniru yang handal. Kita hanya tinggal bertingkah seperti model,
dan mereka akan meniru dengan cepat.
Buktikan sendiri !!
4.
Manfaatkan Teknologi
Ibu bekerja seharusnya bisa memanfaatkan
teknologi sebagai piranti komunikasi. Permudah kebutuhan kita akan pengendalian
risiko saat anak tidak bersama kita dengan teknologi. Jika anak-anak mulai suka membaca e-book, berikan anak-anak sebuah
tantangan untuk membuat resensi buku dan mengirimkannya via e-mail kepada Anda pada tenggat waktu
tertentu. Berikan kesempatan pada mereka
menikmati sensasi deadline dengan
memanfaatkan teknologi. Beri respon dan
ciptakan momen. Itu tugas kita!
Pada
akhirnya, sebuah risiko bisa menjadi bola salju yang bila meluncur dari
ketinggian sana akan menghantam kita yang walaupun berdiri gagah namun berada
di lembah. Sekali lagi, ibu bekerja adalah manusia biasa yang bisa lelah dan
lemah. Percayalah bahwa Allah tidak
pernah tidur. Selama para ibu bekerja
mampu menjaga ridha suaminya tetap pada tempatnya, dan berikhtiar dalam
tanggung jawabnya sehingga anak-anak tetap mendapatkan haknya secara properly, saya pikir para ibu bekerja
masih berada di track yang
semestinya. Tidak ada kata lain yang
pantas saya tulis untuk mengakhiri tulisan ini selain: Semangat!! Be positive.
**Jakarta, 9 Desember 2014
Tulisan adalah sepenuhnya berdasarkan opini, pengamatan, perasaan,
serta pengalaman penulis. Dan sepenuhnya ditulis untuk melapangkan pikiran dan
hati sebagai ibu bekerja, sekaligus menyemangati diri sendiri. Semoga Allah melindungi anak-anak
saya.....dan semoga saya mampu selalu menjaga ridha suami saya pada jalurnya
sehingga tidak sia-sia jerih payah ibu dalam bekerja. Memang rasanya itu
tidaklah mudah, tetapi itu MUNGKIN. Saya
ingin bisa selalu memperbesar kemungkinan itu. Amin.